Istilah Ruyam, Meretas Asa
Catatan
H. Rachmat Rolau
{Wartawan Senior}
BANGSA ini terkenal sebagai peracik istilah. Di pemerintahan ada istilah “clean-governen” {pemerintahan yang bersih}. Di lembaga peradilan ada “hukum sebagai panglima” yang jika diterjemahkan lebih spesifik lagi, kira-kira bermakna equality before the law {persamaan kedudukan} di mata hukum. Di kepolisian juga ada “presisi” yang mengedepankan ketepatan dan ketelitian.
Kalau presisi diterjemahkan secara harfiah, maka pesan-pesan moralnya adalah profesionalitas personal dalam menangani setiap persoalan di tengah masyarakat. Dan secara filosofis, ketiga istilah tersebut merupakan sinektika {upaya pemecahan masalah secara kreatif} dalam ekosistem pelaksanaan aturan-aturan dan hukum {law enforcement}.
Kalau saja istilah-istilah tersebut benar-benar dimplmentasikan sebagai hakikat berbangsa oleh para penyelenggara negara, bangsa ini sudah pasti hidup sejahtera dan berkeadilan. Sebab, semua instilah di atas sesungguhnya telah merepresentasi persamaan kedudukan, hak dan tanggungjawab semua elemen secara universal.
Maka ketika orang-orang terhormat menyuarakan clean-governen, hukum sebagai panglima dan presisi, rakyat turut berbahagia seraya memanjatkan do’a agar ucapan itu menjelma iluminasi {pencerahan} batin dan konsistensi para pihak dalam menjalankan aturan dan hukum secara adil dan benar. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hukum kemudian dipelintir, diperbudak. Aturan dijalankan sesuai kehendak.
Maka pantas jika saat ini rakyat sebangsa-setanah air melontarkan banyak pertanyaan. “Apa sesungguhnya hakikat dari clean governen itu”? Apa sebenarnya arti “hukum sebagai panglima”? “Apa makna presisi itu”? Dari sisi pemerintahan yang bersih, secara empiris – sepanjang tahun ada saja media memberikan keterlibatan oknum kepala daerah. Mulai dari di tingkat gubernur, walikota, bupati, bahkan sampai pada pemerintahan lantai bawah: kepala desa.
Berita itu viral bukan karena prestasi melainkan legacy yang buruk bagi generasi, yakni korupsi dan penyalahgunaan wewenang atau kewenangan. Di rana lembaga peradilan yang terhormat yang menjadi pijakan akhir para pencari keadilan juga tidak luput dari terpaan berita yang merendahkan martabat institusi. Di kepolisian juga begitu. Oknumnya terseret berbagai kasus.
Semua tahu bahwa kepolisian adalah satu-satunya lembaga multi fungsi yang diberikan oleh undang-undang sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan aktivitas civil society dalam penanganan berbagai masalah. Mulai dari kasus-kasus narkotika, penyelundupan, pertambangan illegal, pencucian uang, perjudian, sengketa lahan hingga masalah terkecil yang menyentuh privasi, seperti perzinahan.
Sehingga tidak berlebihan bila media lebih banyak mengarahkan sorotan ‘kameranya’ terhadap korps baju coklat bekalangan ini. Tanpa harus diuraikan pun, sejumlah kasus yang melibatkan pemerintah, penegak hukum dan kepolisian telah viral dan masyarakat mafhum hal itu.
Pelayanan Publik
Dari rentetan peristiwa kelam yang menyeret banyak oknum penyelenggara negara termasuk wakil-wakil rakyat di DPR telah membuat masyarakat menjadi putus harapan terhadap hakikat awal berbangsa dan bernegara.
Di bidang pelayanan publik misalnya. Pemerintah dan para pihak yang berkompeten sepertinya telah kehilangan jati diri. Contoh. Pelayanan terhadap bahan bakar minyak {BBM} khusus solar yang terjadi di sejumlah SPBU sangat amburadul.
Ada ketidak-sesuaian di sana. Antrean puluhan bahkan mungkin ratusan kendaraan roda empat didominasi oleh mobil-mobil truk berbahan bakar solar. Jika memang truk-truk ini bekerja untuk perusahaan industri, maka ‘adabnya’ harus menggunakan bahan bakar nonsubsidi, bukan menopoli di SPBU yang bahan bakarnya disubsidi oleh pemerintah untuk masyarakat kurang mampu.
Di samping truk-truk perusahaan, para pelansir {pengetap} solar juga menggila. Bayangkan, jika para pelansir minyak membawa motor dengan muatan 6 hingga 8 galon {jerigen}, lalu setiap galon diisi 25 liter, maka sepeda motor akan membawa pulang 15O hingga 2OO liter solar untuk satu kali jalan.
Akibatnya, orang-orang yang patuh aturan dan tak punya kepiawaian ‘bermain’, tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali penderitaan seraya menyaksikan dahsyatnya skenario yang dimainkan oleh para dalang yang tak punya rasa malu.
Tak hanya bahan bakar minyak. Bahan bakar gas {BBG} juga sama. Tabung elpiji 3 kg semisal. Selain pendistribusiannya tidak stabil, pelayanannya pun juga kacau. Pemilik rumah-rumah makan yang relatif mampu bisa mendapatkan elpiji volume 3 kg lebih dari satu. Sementara masyarakat kurang mampu justru sering tidak kebagian.
Mirisnya lagi, ketika harus membeli di penjual eceran, harganya sudah menyentuh angka Rp 5O hingga 65 ribu rupiah per tabung. Inilah bukti pelayanan pemerintah terhadap rakyat yang dinilai oleh banyak kalangan sangat merugikan rakyat. Sementara ada pihak-pihak yang justru mengambil keuntungan dari carut-marutnya pelayanan. Singkatnya, istilah runyam, meretas asa.{**}