Krisis Air Bersih, Pengeboran Adalah Masalah Baru

0

Penulis : Hendrawan R. Wijaya

Selain sandang, pangan dan papan, air bersih juga merupakan hal pokok yang dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupan. Ketidaktersediaan atau krisis air bersih dapat menimbulkan kesusahan bagi kehidupan masyarakat, seperti yang terjadi di Kabupaten Nunukan. Tidak sedikit masyarakat yang mengeluh kemudian.

Kabupaten Nunukan terletak di koordinat geografis antara 1150 33.23′ hingga 1180 33.41′ bujur timur, serta 0030 15.000′ hingga 0040 25.055′ lintang utara. Ini merupakan wilayah paling utara dari Provinsi Kalimantan Utara dan berbatasan langsung dengan Negara Malaysia Timur-Sabah di utara, Laut Sulawesi di timur, Kabupaten Tanah Tidung dan Kabupaten Malinau di selatan, serta Negara Malaysia-Serawak di barat. Pulau Nunukan memiliki sedikit sumber mata air pegunungan yang berkualitas baik, tidak keruh, dan tanpa bau, yang mengalir ke beberapa sungai seperti sungai Bolong, sungai Bilal, dan lainnya. (Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup, DPLH, 2015).

Nunukan, sebagai pusat kota kabupaten dan pemerintahan kabupaten Nunukan, memiliki populasi lebih dari 203.220 penduduk yang tersebar di 21 kecamatan, menurut data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik pada 2021. Karena tingginya jumlah penduduk, permintaan akan air bersih di kota ini juga meningkat, untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan industri serta pertanian.

Seharusnya, kebutuhan akan air bersih di Kabupaten Nunukan dipenuhi oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). PDAM bertanggung jawab sebagai penyedia air bersih bagi masyarakat Nunukan, dengan didukung oleh dana publik. Namun, dalam kenyataannya, PDAM tidak mampu mengatasi kebutuhan air bersih di Kabupaten Nunukan secara keseluruhan. “Bahkan performa PDAM menurun dalam menyediakan air bersih, sebelumnya mampu memproduksi air hingga 50 liter perdetik, kini kemampuannya menyusut hingga 15 liter perdetik”. (Tribun Kaltim, 14 Maret 2016).

Untuk mengatasi krisis air bersih di Kabupaten Nunukan, pemerintah kabupaten melakukan penggalian sumur bor, sebanyak 14 titik sebagai solusi. Meskipun sumur bor memberikan harapan masyarakat dari dehidrasi air bersih, namun di balik manfaatnya terdapat sejumlah masalah serius yang menanti Pulau Nunukan. Imbas dari penggunaan sumur bor secara luas dan masif akan memberikan dampak yang signifikan dan membekas bagi generasi mendatang.

Dampak negatif terutama berkaitan dengan lingkungan menjadi perhatian utama dari penggunaan sumur bor. Kerusakan pada permukaan tanah yang diakibatkan oleh aktivitas penggalian merupakan dampak pertama yang muncul akibat penggunaan sumur bor. Selain itu, dampak yang paling mengkhawatirkan adalah terbentuknya rongga di bawah permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan. Adanya rongga di bawah tanah menyebabkan ketidakseimbangan tekanan tanah karena air tanah yang seharusnya menyeimbangkan tanah telah dieksploitasi secara ugal-ugalan. Dampaknya termasuk longsor dan pergeseran bebatuan yang menopang tanah, menyebabkan tanah menjadi amblas. Amblasnya permukaan tanah mengakibatkan penurunan tingkat tanah, yang pada gilirannya meningkatkan resiko banjir di beberapa titik.

Dampak paling serius dari eksploitasi air tanah yang berlebihan adalah peningkatan tinggi permukaan air laut di atas permukaan tanah. Jakarta adalah contoh konkret dari dampak negatif tersebut, dengan beberapa daerah mengalami banjir rob karena permukaan air laut yang lebih tinggi dari permukaan tanah. Kekurangan daerah resapan air juga mempercepat masalah ini.
Reboisasi adalah kunci

Reboisasi adalah tindakan penghijauan yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan alam menjadi berhijauan, biasanya dilakukan di area hutan yang telah gundul agar dapat memulihkan fungsinya secara optimal. Hutan ini memiliki peran penting sebagai penyangga cadangan air. Dengan melakukan penanaman kembali pada hutan yang telah gundul tersebut, potensi terjadinya bencana alam serta kelangkaan udara dan air dapat diminimalisir.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2002, Tentang Dana Reboisasi. Pasal (1) Dana reboisasi adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Pemegang izin usaha ini, dapar berupa Perseorangan, PT, Yayasan, Badan Usaha Milik Desa, Badan Usaha Milik Negara dan lain sebagainya. (Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari, 2023). Izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

Masyarakat patut bersatu dan mempertanyakan transparansi anggaran mengenai izin usaha pemanfaatan hutan dan memperhatikan AMDAL tiap perusahaan yang dicurigai bermasalah. Hal ini jika dibiarkan berlarut-larut, akan mencapai klimaks pada rusaknya lingkungan dan hilangnya air bersih di Kabupaten Nunukan. Tentunya ini adalah penderitaan yang tiada tara, sebab kehilangan air sama dengan kesusahan hidup. Menyalahkan pemerintah kabupaten Nunukan adalah sesuatu yang harus dalam kasus krisis air bersih ini, karena tidak ada transparansi anggaran reboisasi dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak diketahui publik.

Share.

Leave A Reply