SAMARINDA- Adanya tindakan represif dari pihak aparat dalam hal ini Satpol-PP terhadap sekumpulan mahasiswa dan ormas yang tergabung dalam aliansi mendapatkan sejumals kecaman dari sejumlah kalangan. Tidak ketinggalan dari Ketua Umum BADKO HmI Kaltim-Kaltara, Abdul Muis.
Saat dijumpai oleh awak media, ia mengatakan dalam menyampaikan aspirasi atau pendapat merupakan hak setiap orang. “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” begitulah kalimat yang tercantum dalam ayat 3 pasal 28E UUD 1945 sehingga menjadi landasan yang sangat jelas bagi siapapun warganegara Indonesia berhak untuk memberikan pendapat di muka umum atau berdemonstrasi tidak terkecuali Aliansi Masyarakat Peduli Karst (AMPK) KALTIM.
Sebagaimana yang di sampaikan oleh Forum Silaturrahmi Lintas Ormas LSM dalam konferensi persnya (8/4/2019) yang lalu bahwa mengecam tindakan anarkisme dalam aksi AMPK dan akan mencegah terjadinya aksi susulan jika dilakukan sebelum hari pemungutan suara 17 April 2019 yang akan datang. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya pada publik bahwa apa hak Ormas melakukan pelarangan atau pencegahan masyarakat lainnya mengemukakan pendapat di muka umum?
Dan bahkan jika Ormas mengambil langkah untuk mencegah terjadinya aksi massa maka sudah terlihat bahwa Ormas akan mengambil kewenangan Aparat Kepolisian dan jika hal ini di benarkan oleh aparat bahwa Ormas berhak untuk melakukan pengamanan, pelarangan atau pencegahan atas gerakan masyarakat lainnya tentu hal ini akan memperlihatkan bahwa ada keistimewaan yang di berikan pada Ormas LSM dan secara tidak langsung mendeskriminasi gerakan atau organisasi lainnya yang ada di Indonesia.
Dalam konferensi pers tersebut juga di nyatakan bahwa aksi yang di lakukan sebelum hari pemungutan suara berpotensi menganggu kondusifitas PEMILU 2019, dalam aksi yang di lakukan oleh AMPK tidak ada keterkaitannya dengan PEMILU yang sedang berlangsung. Jika pihak Ormas LSM yang tergabung dalam forum tersebut hanya melihat aksi AMPK sebagai aksi yang anarkis maka sudah seharusnya pihak Ormas LSM ini mencoba memahami apa yang di perjuangkan oleh aliansi ini bahwa penolakan terhadap eksploitasi Karst Sangkulirang Mangkalihat, Kutai Timur dengan mendirikan Pabrik Semen yang akan merusak serapan air di sekitar Karst.
Karst Sangkulirang Mangkalihat merupakan benteng terakhir KALTIM setelah SDA KALTIM di keruk habis seperti batu bara, minyak dan gas yang berakhir pada pencemaran lingkungan.
Anarkisme yang berakhir pada pertumpahan darah adalah tindakan yang tidak semua orang inginkan, bahwa aksi yang di lakukan oleh AMPK berujung ricuh tentu hal yang tidak dapat di hindari bagaimana tidak? Jika pendemo yang ingin mengemukakan pendapat dihadapkan dengan aparat kepolisian yang lengkap dengan senjata gas air mata sehingga dalam melakukan pengamanan massa aksi di lakukan pemukulan oleh aparat kepolisian dan satpol PP. Aksi yang dilakukan oleh AMPK dalam memperjuangkan kelestarian Karst sama konteksnya dengan aksi Bela Islam dan aksi guru honorer yaitu menyampaikan pendapat dimuka umum menyuarakan permasalahan yang terjadi di masyarakat namun ternyata dalam melayani massa aksi terdapat perbedaan yang sangat mencolok bahwa aksi yang di lakukan oleh AMPK tidak di berikan ruang untuk menyampaikan aspirasi di dalam halaman gedung Kantor Gubernur KALTIM.
BADKO HMI KALTIM-TARA melihat bahwa sudah seharusnya tidak ada pelarangan dalam menyampaikan pendapat di muka umum dan perlakuan yang berbeda pada massa aksi. Dari pihak aparat kepolisian, satpol PP dan pemerintah Provinsi harus memperlakukan masyarakat setara tanpa diskriminasi. Adanya upaya pelarangan atau pencegahan mengemukakan pendapat di muka umum adalah upaya untuk menciderai demokrasi dan mengkhianati UUD 1945.