
Kalimantan Raya, Tarakan – Di bawah langit cerah yang menggantung di Simpang 3 GTM, sekelompok mahasiswa berdiri tegak. Mengenakan atribut bertuliskan Serikat Mahasiswa Indonesia, mereka membentuk sebuah lingkaran. Di tangan mereka, selembaran-selembaran bertuliskan tuntutan: soal upah, soal pendidikan, soal masa depan.
Hari itu, 3 Mei 2025, bukan hanya Hari Buruh Internasional. Bagi mereka, juga Hari Pendidikan Nasional, momen ganda untuk melawan lupa dan bersuara. Di hadapan gedung Grand Tarakan Mall yang megah, suara orator menggema melalui megafon, bercampur aduk dengan bisingnya kendaraan masyarakat yang beraktivitas: “Hidup buruh! Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!”
Aksi ini adalah bagian dari deklarasi Konferensi SMI Komisariat Universitas Borneo Tarakan, organisasi mahasiswa yang menjadi ujung tombak gerakan kritis di kampus. Deklarasi ini bukan sekadar formalitas. Ia ditandai dengan pembacaan manifesto dan yel-yel penuh semangat, menyiratkan harapan agar mahasiswa tak hanya menjadi akademisi di ruang kuliah, tapi juga aktor perubahan sosial.
“Konferensi ini bukan sekadar agenda internal. Ini pernyataan sikap kami terhadap kondisi objektif pendidikan dan ketenagakerjaan di negeri ini,” ujar Ridwan, Koordinator Lapangan Aksi.
Ia menyebutkan bahwa momen ini sengaja dipilih untuk merangkum dua peringatan penting, May Day dan Hardiknas, karena keduanya sama-sama bicara tentang hak.
Senada dengan itu, tertuliskan dengan konkret dalam selembaran, Jalan Keluar Rakyat;
1. Menuntut Reformasi Agraria Sejati
2. Nasionalisasi Aset-Aset Vital
3. Bangun Industrialisasi yang Kuat dan Mandiri di Bawah Kontrol Rakyat
4. Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis, dan Bervisi Kerakyatan.
5. Rakyat Bersatu, Bangun Partai Massa.
“Lewat momentum Mei berlawan ini, Serikat Mahasiswa Indonesia menuntut beberapa hal,” katanya.
Dalam orasinya, mereka juga mengkritik sistem pendidikan nasional yang makin mahal dan menjauh dari rakyat kecil. Di saat yang sama, suara mereka menyatu dengan jeritan buruh yang menggugat keadilan upah dan jaminan kerja.
Kehadiran mereka di ruang publik kampus, walau tak dihadiri ribuan massa, adalah pengingat bahwa di ujung utara Kalimantan sana, api perjuangan masih menyala. Sunyi, tapi tak padam.