
Kalimantan Raya, Tarakan – Distribusi sembako ke wilayah pedalaman Kalimantan Utara kini menghadapi hambatan serius. Kapal-kapal pelayaran rakyat yang mengangkut kebutuhan pokok dari Kota Tarakan kesulitan memperoleh akses Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis solar, akibat persoalan izin distribusi.
Padahal, penggunaan solar subsidi sangat krusial dalam menjaga efisiensi ongkos kirim dan stabilitas harga sembako di daerah terpencil seperti Tanjung Selor, Malinau, Nunukan, Bunyu, hingga Sebatik.
Ketua DPC Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (Pelra) Tarakan, Nanrang, menjelaskan bahwa pihaknya telah mengurus permohonan solar subsidi sejak awal 2024 melalui Pertamina pusat, Balikpapan, dan Tarakan. Persetujuan dari Pertamina disebut telah diberikan. Namun, distribusinya kini terkendala oleh izin penyaluran lewat Pelabuhan Tengkayu I SDF.
“Penyaluran dari Pertamina sebetulnya tidak ada masalah, tapi yang jadi penghambat sekarang adalah izin distribusi dari Pelabuhan Tengkayu I SDF,” kata Nanrang, Kamis (10/7).
Pihak DPC Pelra dan Dinas Perhubungan sudah melakukan pertemuan bersama UPTD Pelabuhan Tengkayu I SDF. Sempat muncul wacana distribusi solar dialihkan ke Pelabuhan Perikanan, namun hingga saat ini belum ada keputusan konkret.
Situasi tersebut membuat para pengusaha pelayaran kecewa. Mereka menilai keterlambatan ini berpotensi berdampak langsung terhadap distribusi pangan dan kestabilan harga di daerah perbatasan.
“Kalau pakai solar subsidi, biaya logistik jauh lebih rendah. Tapi karena aksesnya ditutup, kami terpaksa beli dari sumber yang tidak resmi, harganya juga tidak stabil,” ujar Nanrang.
Menurutnya, jika kapal terus menggunakan solar nonsubsidi, maka biaya operasional bisa melonjak drastis dan berdampak pada harga jual sembako di pedalaman. Ini juga berpotensi memicu inflasi di kawasan yang sensitif terhadap fluktuasi logistik.
“Kenaikan biaya angkut itu ujung-ujungnya menaikkan harga sembako. Dampaknya ke masyarakat langsung,” tambahnya.
Saat ini, 17 kapal terdaftar di bawah naungan DPC Pelra Tarakan, dengan kebutuhan rata-rata 35 ton solar per kapal. Di seluruh Kaltara, tercatat sekitar 80 kapal pelayaran rakyat aktif melakukan distribusi logistik.
Nanrang juga membeberkan bahwa tarif pengangkutan sembako dari Tarakan saat ini masih tergolong rendah. Misalnya, beras hanya Rp 5.000 per karung, minyak goreng Rp 4.000 per dus, dan mi instan Rp 2.000 per dos. Meski murah, risiko tetap ditanggung penuh oleh operator kapal.
“Kalau barang rusak di jalan, kapal yang ganti. Asuransi 100 persen di kami,” tegasnya.
Sementara itu, kapal pelayaran rakyat juga tak memiliki akses untuk mengisi BBM di APMS maupun SPBN. SPBN (Stasiun Pengisian BBM untuk Nelayan) hanya dikhususkan untuk kapal penangkap ikan. Tarakan juga tidak memiliki SPBU khusus untuk kapal Pelra.
“Kami harap pemerintah provinsi segera hadir menyelesaikan ini. Tanpa kejelasan izin distribusi, pelayaran rakyat terancam lumpuh,” tutup Nanrang.
Sc radarberau.com