Kalimantan Raya, Tarakan – Diskusi Hukum “Teras Marjinal” yang diadakan BEM Se-Kalimantan, Kamis (13/11/2025), menguak kontradiksi tajam antara keluhan petani dan temuan teknis pemerintah terkait sengketa lahan dengan PT PRI. Polemik ini disoroti sebagai tantangan besar dalam penegakan hukum lingkungan di Kaltara.
Sengketa yang melibatkan 7,4 hektare lahan petani ini dianalisis dari tiga sudut pandang, keluhan masyarakat oleh Yapdin, temuan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tarakan oleh Endy Kurniawan, serta kerangka hukum penyelesaian oleh Adi Freddy Bawaeda.
Yapdin, perwakilan masyarakat, menceritakan bahwa masalah bermula dari banjir parah yang terjadi pada 2022 akibat penimbunan pabrik PRI. Namun, kondisi diperparah hingga tanaman tahunan mengering dan mati.
“Kami curiga, ini bukan hanya persoalan banjir lagi. Pembuangan limbah PRI itu persis di belakang perkebunan warga,” ungkap Yapdin, menegaskan bahwa limbah diduga menjadi penyebab utama lumpuhnya kegiatan pertanian mereka.
Ia juga mengungkapkan frustrasi mendalam atas negosiasi yang buntu. Setelah pemblokiran jalan pembuangan, warga sempat menawarkan lahan mereka dengan harga Rp500.000 per meter, namun PT PRI justru menggunakan waktu yang diberikan untuk membuka akses pembuangan limbah baru.
Masyarakat akhirnya menyederhanakan tuntutan, meninggalkan negosiasi harga lahan. Tuntutan esensial kini menjadi satu paket, “Ganti rugi tanam tumbuh dan kerugian sejak 2022, tetapi tolong limbahmu jangan di situ. Supaya kami kembali bertani,” tegasnya. Yapdin merasa tuntutan minimalis ini pun tidak disanggupi perusahaan, menunjukkan ketidakseriusan penyelesaian.
Berbeda dengan dugaan warga, Endy Kurniawan dari DLH Kota Tarakan membenarkan adanya kerusakan, namun memberikan penekanan dari aspek teknis tata kelola air.
“Kerusakan tanaman yang diawali dengan busuknya akar akibat tergenang lama disebabkan oleh tata kelola air yang salah dan pelanggaran kewajiban Amdal oleh PRI pada tahap konstruksi,” jelas Endy.
Ia menyebut penimbunan pabrik menyebabkan air terhalang dan menggenangi lahan.
Terkait kekhawatiran masyarakat soal limbah, DLH memberikan klarifikasi penting. Mereka telah memantau dan menegaskan bahwa landfill PRI sudah bersertifikat untuk limbah padat non-reaktif (tidak berbahaya), dan “belum ditemukan adanya pencemaran air tanah”. Hal ini menguatkan dugaan bahwa genangan air berkepanjangan adalah penyebab utama kematian tanaman.
Sebagai upaya tindak lanjut, DLH sedang berupaya meminta Tim appraisal dari Kementerian Pertanian untuk menghitung kerugian warga dan merekomendasikan solusi teknis, termasuk pompanisasi.
Menanggapi deadlock mediasi, Dosen Hukum Adi Freddy Bawaeda mengingatkan bahwa hukum menyediakan tiga jalur penyelesaian bagi masyarakat.
“Hukum menyediakan tiga jalur penyelesaian yang dapat ditempuh oleh masyarakat: Perdata (gugatan ganti kerugian), Administratif (menguji perizinan), dan Pidana (pertanggungjawaban korporasi dan/atau pengurusnya),” urai Adi Freddy.
Ia juga menyoroti kendala bagi Pemda, yakni adanya amputasi kewenangan DLH lokal akibat regulasi baru, yang menyebabkan penegakan hukum lingkungan kini lebih tersentralisasi ke pemerintah pusat. Meskipun demikian, Adi Freddy menekankan bahwa keberhasilan gugatan warga terhadap korporasi di tingkat Mahkamah Agung menunjukkan bahwa jalur hukum untuk menuntut keadilan tetap terbuka lebar.





