KALIMANTAN RAYA, TARAKAN – Setelah dialog alot di Kantor PT Phoenix Resources International (PRI) pada Rabu (5/11/2025) menemui jalan buntu (deadlock), ratusan warga dan mahasiswa Tarakan menggeser titik aksi mereka ke Kantor Walikota Tarakan. Aksi ini dilakukan dengan maksud mengadu dan mendesak Walikota Tarakan, Khaerul, agar bersedia turun tangan mendampingi penyelesaian konflik ganti rugi dan pencemaran lingkungan yang berlarut.
Aksi massa tiba memadati Kantor Walikota sekitar pukul 17.36 WITA. Mereka memblokade jalan, membakar ban, dan menanti kehadiran Walikota. Setelah satu jam berlalu tanpa kehadiran pimpinan kota, massa aksi memutuskan masuk ke dalam. Insiden saling dorong-dorongan antara demonstran dan pihak keamanan Kantor Walikota tak terhindarkan.
Namun, ketegangan itu tiba-tiba terhenti saat gempa bumi mengejutkan seluruh pihak di lokasi. Tak lama setelah situasi kembali tenang, Walikota Tarakan, Khaerul, akhirnya muncul dan memulai dialog dengan perwakilan masyarakat.
Michael Jama, salah satu Perwakilan Masyarakat dan Mahasiswa, membuka dialog dengan nada kecewa. Ia menyampaikan bahwa masyarakat membludak dan memilih memblokade akses PT PRI karena perusahaan dinilai tidak memberikan solusi baik, bahkan malah ‘membenturkan’ masyarakat.
“Kami mengadu ke bapak, karena Perusahaan PRI tidak memberikan solusi yang baik. Malah membenturkan kami dengan masyarakat yang ada di sana juga,” ujar Michael.
Michael Jama menegaskan bahwa kehadiran Walikota harus diartikan sebagai kewajiban, bukan sekadar imbauan.
“Saya mau sampaikan bahwa jangan mengharuskan Pak, tapi mewajibkan karena ini adalah kewajiban Bapak sebagai pimpinan. Harapan kami Bapak berpihak pada kami, bukan kepada perusahaan,” tegasnya, disambut seruan setuju dari massa.
Dalam kesempatan tersebut, Michael Jama membacakan sembilan tuntutan yang harus ditandatangani dan diwujudkan oleh Walikota Tarakan, tanpa negosiasi lagi:
- Mendesak PT PRI untuk segera melakukan pembayaran ganti rugi atas tanaman dan lahan produktif.
- Menuntut agar lahan masyarakat yang telah digunakan atau dirusak dikembalikan dan dipulihkan menjadi lahan produktif.
- Meminta PT PRI memperbaiki dan menata kembali sistem drainase.
- Menuntut perusahaan menghentikan segala bentuk pembuangan limbah ke area pemukiman atau perkebunan masyarakat.
- Mendesak Pemkot Tarakan dan DLH melakukan pemeriksaan ulang dokumen Amdal PT PRI.
- Meminta Aparat Penegak Hukum untuk mengadili pimpinan PT PRI atas dugaan pelanggaran lingkungan.
- Menuntut keterbukaan dan akutabilitas pelaksanaan dana CSR oleh PT PRI.
- Memberikan waktu 1×24 jam kepada perusahaan untuk menunjukkan itikad baik.
- Meminta PT PRI untuk tidak membuka blokade yang telah dipasang masyarakat sampai tuntutan dipenuhi.
Walikota Tarakan, Khaerul, menanggapi tuntutan tersebut dengan menjelaskan batasan kewenangannya. Walikota secara jujur menyatakan tidak bisa memastikan pembayaran ganti rugi lahan, karena hal itu merupakan urusan perusahaan dan masyarakat.
“Saya harus tegaskan, karena kewenangan untuk mengganti rugi dan lain-lain itu nanti. Saya harus memastikan dia mengganti rugi, saya jujur, saya tidak bisa memastikan itu. Karena ini kan urusan perusahaan dengan masyarakat situ,” jelas Walikota Khaerul.
Mengenai isu lingkungan, Walikota menyebut kajian Pemkot (DLH dan PU) sudah ada dan menyarankan PT PRI melakukan pengerukan drainase dan pompanisasi. Namun, untuk masalah penutupan pembuangan limbah merupakan persoalan yang berbeda.
“Itu izinnya kan dari pusat. Jadi nanti kami laporkan ke pusat nanti biar pusat turun untuk meneliti apakah memang terjadi pelanggaran di sana,” Kata dia.
Mengenai aksi blokade, Walikota menyerahkan sepenuhnya kepada Kapolres, namun secara pribadi, ia menegaskan “Kami tidak sampai ngurusi membuka dan tidak buka portal itu. Mau anda jagain, jagain aja sudah di situ,” katanya, seolah memberi lampu hijau pada aksi blokade yang masih berlangsung.
Walikota Khaerul juga menekankan pentingnya negosiasi yang sehat antara kedua belah pihak. Ia mengakui telah berulang kali meminta PT PRI untuk menaikkan harga, namun masyarakat juga harus menurunkan tuntutan.
“Yang namanya negosiasi itu mestinya harusnya ada. Kalau di sini naik sedikit, di sini turun. Jadi, ketemu di tengah. Kalau di sini bertahan, tidak akan selesai,” tegas Walikota.
Meski demikian, Walikota berkomitmen penuh untuk mengawal kasus ini, termasuk mengevaluasi ulang Amdal, memfasilitasi transparansi CSR, dan menindaklanjuti semua laporan ke pemerintah pusat.





