August 12, 2025
Kaltara Tarakan

Jejak Deforestasi di Balik Ekspor PULP dari Kalimantan ke Luar Negeri

  • Mei 30, 2025
  • 3 min read
Jejak Deforestasi di Balik Ekspor PULP dari Kalimantan ke Luar Negeri

Kalimantan Raya, Tarakan – Pabrik pengolahan pulp milik PT Phoenix Resources di Kalimantan Utara menjadi sorotan setelah ekspor produknya ke China diduga melibatkan pasokan kayu dari perusahaan-perusahaan yang tercatat dalam daftar pelaku deforestasi hutan alam Kalimantan.

Laporan lembaga Auriga Nusantara mengungkap bahwa sejak awal tahun 2025 hingga Maret, PT Phoenix telah melakukan sembilan pengiriman pulp ke China dengan total mencapai 65.500 ton. Empat di antaranya dilakukan pada Februari 2025 dan lima lainnya pada Maret 2025, menuju dua pelabuhan besar di Tiongkok, Changshu dan Shanghai. Seluruh ekspor tersebut dilaporkan untuk memenuhi permintaan dari perusahaan importir bernama Recursos Trading FZCO yang berbasis di Uni Emirat Arab.

Direktur Hutan Auriga Nusantara, Supintri Yohar, menyebut bahwa sejumlah perusahaan yang menjadi pemasok kayu bagi PT Phoenix masuk dalam daftar perusahaan perusak hutan versi laporan Status Deforestasi Indonesia (STADI) 2023-2024. Melalui data Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), teridentifikasi delapan perusahaan yang menyuplai jenis kayu eukaliptus merah kepada PT Phoenix hingga akhir 2024. Volume pasokan kayu dari masing-masing perusahaan bervariasi, dengan total puluhan ribu meter kubik.

Beberapa di antaranya adalah PT Mahakam Persada Sakti (47.033 m3), PT Industrial Forest Plantation (42.469 m3), dan PT Bakayan Jaya Abadi (24.130 m3). Dua perusahaan, PT IFP dan PT PBA masuk dalam daftar perusahaan penyebab deforestasi terbesar di Kalimantan menurut laporan STADI. PT IFP disebut telah membuka 1.105 hektare hutan alam, sementara PT PBA mencapai 786 hektare.

Sementara itu, laporan berjudul “Babat Kalimantan” yang disusun koalisi organisasi lingkungan internasional turut menyoroti kemungkinan keterkaitan antara PT Phoenix dan grup perusahaan kayu raksasa Royal Golden Eagle (RGE). Namun, tudingan ini dibantah oleh Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), yang merupakan bagian dari RGE Group. Mereka menyatakan tidak memiliki hubungan bisnis dengan PT Phoenix.

Greenpeace Indonesia turut mengomentari temuan ini. Refki Saputra, juru kampanye hutan lembaga tersebut, mengatakan bahwa operasi dan ekspor PT Phoenix menunjukkan adanya potensi besar deforestasi demi memenuhi kebutuhan bahan baku. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menyebutkan bahwa pabrik ini memiliki dua jalur produksi pulp semi-kimia yang jika beroperasi penuh akan memerlukan 3,36 juta ton kayu per tahun mulai 2028.

Kebutuhan bahan baku yang sangat besar ini berpotensi mendorong pembukaan hutan dalam skala luas. Dalam periode sembilan tahun (2024-2032), total konsumsi kayu PT Phoenix diperkirakan mencapai 25 juta ton hijau, atau setara 28,5 juta meter kubik kayu.

Refki juga menyoroti kurangnya transparansi PT Phoenix terkait rantai pasok dan kepemilikan perusahaan. Ia menyebut bahwa berdasarkan penelusuran, perusahaan tersebut memiliki afiliasi dengan entitas di negara-negara yang dikenal sebagai surga pajak, yang membuat pengawasan publik menjadi sulit.

Sebelumnya, pada awal 2025, PT Phoenix menyampaikan bahwa mereka menargetkan produksi pulp food grade sebanyak 1.200 ton per hari. Kayu sebagai bahan baku diklaim akan diambil dari wilayah Kalimantan Timur.

Kasus ini memperlihatkan perlunya pengawasan ketat terhadap industri kehutanan dan pengolahan kayu yang berkembang pesat di Kalimantan Utara. Di tengah ambisi ekspor dan industrialisasi, tantangan menjaga kelestarian hutan tak bisa diabaikan.

Sumber : betahita.id