December 6, 2025
Hukum Kaltara Tarakan

KUHAP Baru Dianggap Cacat, Ancam HAM dengan Pemblokiran Subjektif dan Sentralisasi Penyidikan

  • Desember 6, 2025
  • 2 min read
KUHAP Baru Dianggap Cacat, Ancam HAM dengan Pemblokiran Subjektif dan Sentralisasi Penyidikan

Kalimantan Raya, Tarakan – Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 menjadi subjek kritik tajam dalam Forum Diskusi, Analisa, dan Kebijakan Hukum (Rusak Hukum) Vol. 8. Dalam acara yang digelar Pusat Studi dan Pergerakan Hukum Kaltara (Lingkar Hantam) di Relate Coffee, Jumat (5/12/2025), para narasumber menilai KUHAP baru berpotensi melanggengkan penindasan berbungkus reformasi.

Diskusi bertajuk “KUHAP Baru: Legitimasi Penindasan Berbungkus Reformasi” ini menghadirkan Adi Freddy Bawaeda (Akademisi Hukum Litigasi) dan Irvan (Aktivis Hukum) sebagai narasumber.

Adi Freddy Bawaeda menyoroti fitur-fitur baru terkait upaya paksa yang berpotensi melanggar HAM, seperti pemblokiran rekening dan pencekalan. Ia menilai fitur tersebut mengancam hak dasar warga negara.

“Untuk kebutuhan sehari-hari untuk makan gimana coba? Nah ini kan dari sisi hak asasi manusia jelas-jelas sudah ada pelanggaran,” tegas Adi Freddy, menyinggung pemblokiran rekening.

Ia juga mengkritik sentralisasi kewenangan penyidikan lewat istilah Penyidik Utama di KUHAP, yang membuat PPNS di sektor khusus tersupervisi oleh satu institusi saja, menghambat penegakan hukum yang membutuhkan keahlian spesifik.

“Ibaratnya gini, Irfan punya kekhususan dalam lingkungan, saya pemahaman pengetahuan saya hanya umum. Seluruh tindakan Irfan harus koordinasi dengan saya. Saya yang menentukan,” ilustrasinya, menyoroti birokrasi berbelit dan potensi intervensi.

Adapun Irvan menyoroti cacat substansi yang dapat disalahgunakan, dimulai dari prosedur upaya paksa. Ia menekankan bahwa penyadapan dan pemblokiran yang dilakukan dalam keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif penyidik sangat rawan pelanggaran.

“Hak privasi kamu sudah terlanggar, padahal itu bukan Penyadapan atau pemblokiran yang sah,” ujar Irvan, menjelaskan risiko pelanggaran HAM bahkan jika pengadilan belakangan menolak upaya paksa tersebut.

Irvan juga mengkritik perluasan undercover buying (penyamaran) ke tahap penyelidikan, yang dinilainya berbahaya karena membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat sebelum adanya kepastian tindak pidana.

Irvan juga menyoroti ketimpangan struktural, khususnya pada Penyidik BNN yang harus meminta izin penangkapan ke penyelidik Polri.

“Mereka harus minta ke Polri dulu, keburu kabur dong, ya kan? Keburu kabur!” kritik Irvan, menjelaskan bagaimana birokrasi ini menghambat kerja BNN.

Ia juga menyoroti keanehan Keadilan Restoratif (RJ) di tahap penyelidikan (Pasal 79) yang berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah. Selain itu, KUHAP dinilai gagal menarik Partai Politik sebagai subjek tindak pidana korporasi, padahal entitas tersebut rentan melakukan pelanggaran.

Dalam akhir diskusi, meskipun menyadari substansi KUHAP yang problematik, kedua narasumber mengajak masyarakat untuk tetap optimis.

“Sebagai warga negara yang baik, tetap kita sonsong untuk keberlakuan ini. Apapun itu kekurangannya tetap kita hadapi, karena kita tidak bisa mundur terkait dengan pemberlakuan ini,” tutup Adi Freddy Bawaeda.

Leave a Reply