
Kalimantan Raya, Tarakan – Keresahan warga Tarakan terhadap dugaan beredarnya bahan bakar minyak (BBM) oplosan terus menguat. Dalam forum publik bertajuk Dialektika Progresif yang digelar BEM Universitas Borneo Tarakan (UBT) pada Rabu malam (4/6), pemerintah daerah, Ombudsman, dan akademisi mengungkap lemahnya pengawasan, temuan visual BBM bermasalah, hingga sikap tertutup pihak Pertamina yang tidak menghadiri forum meski telah diundang secara resmi.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemkot Tarakan, Ajat Jatnika, mengungkap bahwa uji laboratorium terhadap sampel BBM dari sejumlah SPBU di Tarakan tidak menunjukkan kejanggalan. “Sampel dari beberapa SPBU, termasuk dari depot Pertamina langsung, telah dikirim ke laboratorium Lemigas. Hasilnya: semua parameter dinyatakan dalam batas normal,” ujarnya.
Meski demikian, Ajat mengakui kepercayaan publik terhadap BBM Pertamina sudah terganggu. Ia mendesak Pertamina untuk lebih terbuka. “Pertamina harus memberikan respon konkret, bukan sekadar hasil uji. Masyarakat butuh kepastian, bukan jawaban teknis,” tegasnya. Ia juga mengimbau masyarakat untuk melapor resmi ke aparat penegak hukum jika mengalami kerusakan kendaraan akibat BBM, namun hingga kini belum ada laporan yang masuk.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kaltara, Maria Ulfah, menyoroti lemahnya pengawasan distribusi BBM di wilayah Kalimantan Utara. Pihaknya telah melayangkan surat ke Direksi Pertamina, Kilang Balikpapan, dan depot terkait menyusul dugaan kejanggalan distribusi.
“Temuan visual kami di salah satu bengkel menunjukkan filter kendaraan mengandung cairan tak lazim, dengan warna dan bau yang menyimpang dari standar BBM,” ungkap Maria. Ia juga mengkritik rendahnya partisipasi masyarakat dalam melapor resmi, yang membuat investigasi Ombudsman terhambat. “Banyak yang mengeluh, tapi enggan melapor. Ini menyulitkan kami,” katanya.
Maria menyayangkan ketidakhadiran Pertamina dalam forum yang seharusnya menjadi ruang klarifikasi publik. “Kami nilai ini sebagai bentuk tidak adanya tanggung jawab publik dari Pertamina,” ujarnya.
Kritik keras juga datang dari akademisi hukum UBT, Alif Arhanda Putra, yang mengaku mengalami langsung kerugian akibat dugaan BBM tercampur air dan debu. “Pertamina ini seperti bocah laki-laki yang bikin masalah tapi diam saja,” ujarnya.
Alif mengungkap bahwa motornya rusak sejak Desember 2024 usai mengisi BBM dari SPBU, dan ia harus mengeluarkan Rp800 ribu untuk perbaikan. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap penjual BBM eceran yang rawan melakukan pencampuran bahan ilegal. “Kemana fungsi pengawasan distribusi BBM?” tegasnya.
Ia mendesak agar kasus ini tidak disepelekan. “Jangan tunggu korban dari kalangan elit baru bergerak. Masyarakat kecil juga berhak atas BBM yang aman,” tutupnya.
Ketidakhadiran Pertamina dalam forum tersebut menambah kekecewaan publik. Di tengah meningkatnya keluhan dan indikasi BBM bermasalah di lapangan, masyarakat Tarakan menuntut transparansi dan tindakan nyata dari pihak yang bertanggung jawab.