
Kalimantan Raya, Nasional – Pemerintah pusat resmi menetapkan standar baru pembiayaan perjalanan dinas untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan mulai berlaku pada 2026. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025, yang diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada (14/5) lalu, skema biaya perjalanan dinas kini dirancang ulang, namun justru menimbulkan tanda tanya besar soal keadilan dan efisiensi anggaran.
Salah satu angka yang paling menyita perhatian publik adalah tarif hotel untuk pejabat negara di Jakarta bisa mencapai Rp 9,33 juta per malam. Sebuah angka yang kontras dengan semangat efisiensi dan pemerataan pelayanan publik, apalagi jika dibandingkan dengan jatah hotel ASN golongan III di Kalimantan hanya Rp 580 ribu per malam.
PMK ini memang mengatur bahwa semua standar biaya perjalanan dinas merupakan batas tertinggi, bukan harga tetap. Namun, di banyak kasus, angka batas ini justru seringkali dijadikan acuan realisasi, bukan pengecualian.
Di Kalimantan Utara, daerah perbatasan yang infrastruktur digital dan transportasinya belum merata, reaksi terhadap beleid ini bercampur antara keheranan dan kekhawatiran. Bagaimana mungkin di tengah upaya pemangkasan insentif seperti uang saku rapat, pemerintah malah membuka ruang belanja hingga puluhan juta rupiah hanya untuk satu tiket dinas?
Sebagai perbandingan, tiket bisnis Jakarta–Manokwari kini dianggarkan hingga Rp 16,2 juta per orang. Bahkan perjalanan ke luar negeri seperti ke Panama disiapkan hingga US$ 17.946, atau hampir Rp 290 juta untuk satu kursi sekali jalan.
Yang juga memantik polemik adalah ketimpangan jatah penginapan antarwilayah dan antarjabatan. Untuk pejabat eselon I, anggaran hotel bisa menembus Rp 9 juta. Namun untuk ASN di Kalimantan atau Papua, jatah penginapan hanya di kisaran Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta per malam. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pengabdian ASN di daerah tidak dihargai setara?
ASN eselon III dan IV hanya dapat maksimal Rp 3,73 juta, dan itu pun di kota-kota besar. Sementara uang representasi pejabat tinggi dipangkas jadi hanya Rp 250.000 per hari untuk luar kota, bahkan separuhnya untuk dinas dalam kota.
Kementerian Keuangan menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari reformasi anggaran untuk mendorong akuntabilitas dan efisiensi. Tapi kritik pun bermunculan, jika reformasi berarti memotong insentif yang selama ini menopang kerja ASN di daerah, mengapa di saat yang sama membuka lebar pembiayaan hotel mewah dan tiket pesawat mahal?
Pemerintah daerah Kalimantan Utara kini dituntut untuk lebih bijak dan kritis dalam menyikapi aturan ini. Plafon anggaran bukan berarti kewajiban menghabiskan. Justru di tengah fiskal yang ketat dan tantangan pembangunan daerah, belanja dinas seharusnya diarahkan untuk hasil nyata, bukan simbol status.
Para ASN di Kaltara juga perlu mulai membangun budaya kerja yang lebih efisien, berbasis kebutuhan, dan tidak semata mengejar perjalanan dinas sebagai sarana “refreshing” yang dibenarkan oleh aturan.
PMK 32 Tahun 2025 bisa menjadi momentum perubahan jika diterapkan secara bijak. Namun jika tidak, ia bisa menjelma jadi sumber pemborosan terselubung dengan dalih legalitas anggaran.
Publik di daerah seperti Kalimantan Utara layak bertanya, untuk siapa sebenarnya reformasi anggaran ini? Untuk pelayanan publik yang lebih baik, atau untuk mempertahankan gaya hidup birokrasi yang sudah semestinya ditinggalkan?