May 28, 2025
Kaltara Nunukan

PT KHL Klarifikasi Laporan Hukum: “Bukan Kriminalisasi Masyarakat Adat”

  • Mei 27, 2025
  • 2 min read
PT KHL Klarifikasi Laporan Hukum: “Bukan Kriminalisasi Masyarakat Adat”

Kalimantan Raya, Tarakan – Manajemen PT Karangjuang Hijau Lestari (KHL) akhirnya angkat bicara terkait laporan polisi yang menjadi pemicu aksi damai masyarakat di Desa Bebanas, Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, beberapa waktu lalu. Perusahaan membantah keras tudingan bahwa laporan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat Dayak Agabag.

Menurut Wicky, perwakilan manajemen PT KHL, laporan ke kepolisian dilakukan sebagai upaya terakhir setelah berbagai pendekatan persuasif tak membuahkan hasil. Ia menyebut pelaporan tersebut tidak ditujukan kepada komunitas adat secara menyeluruh, melainkan kepada empat individu yang mengklaim lahan di dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.

“Yang kami laporkan bukan masyarakat adat secara umum, tapi perorangan. Jangan sampai ini digeneralisir seolah kami sedang berhadapan dengan seluruh masyarakat adat,” ujar Wicky kepada KaltaraRaya, Senin, (26/5).

Ia menjelaskan, persoalan klaim lahan ini bukan hal baru. Konflik sudah berlangsung sejak 2015, bahkan berakar dari aktivitas perusahaan sejak dekade 1990-an, jauh sebelum pabrik sawit didirikan. PT KHL mengklaim bahwa lahan yang disengketakan telah masuk dalam HGU dan ditanami sawit oleh perusahaan sejak 2010.

Wicky menyebut, upaya mediasi dan penyelesaian non-litigasi telah dilakukan selama hampir satu dekade. Namun karena tak kunjung tercapai titik temu, perusahaan memilih jalur hukum demi kepastian status lahan.

“Tentu saja proses ini kami tempuh dengan kesadaran hukum. Polisi memanggil untuk klarifikasi, bukan langsung menghukum. Itu mekanisme biasa dalam proses penyelidikan,” jelasnya.

Terkait hubungan dengan masyarakat adat Dayak Agabag, Wicky menegaskan bahwa PT KHL tetap menjalin komunikasi baik, termasuk dengan Ketua dan Pranata Adat. Perusahaan juga menjalankan berbagai program sosial bersama masyarakat sekitar kebun.

“Kami bukan anti-masyarakat. Justru keberadaan kami sangat bergantung pada dukungan mereka. Tanpa masyarakat, tidak mungkin perusahaan bisa berjalan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya membedakan antara persoalan klaim individu dan relasi perusahaan dengan komunitas adat secara menyeluruh. “Masalah ini adalah soal lahan, bukan soal identitas. Kami hanya ingin kepastian hukum,” katanya.

Menanggapi tudingan intimidasi akibat laporan-laporan ke polisi, Wicky menyatakan bahwa niat perusahaan tidak pernah untuk menekan masyarakat. “Kalau bisa diselesaikan lewat musyawarah, tentu itu yang utama. Hukum hanya kami tempuh jika tidak ada jalan lain,” katanya.

Sementara itu, konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan sawit masih menjadi isu hangat di wilayah perbatasan Kalimantan Utara. Pemerintah daerah diharapkan dapat menjadi jembatan penyelesaian yang adil dan berimbang, demi menjaga iklim investasi sekaligus melindungi hak-hak masyarakat adat.