November 16, 2025
Kaltara Politik Tanjung Selor

Demokrasi Indonesia di Titik Nadir, Penguatan Bawaslu di Kaltara Dianggap Sia-sia Tanpa Integritas

  • Oktober 27, 2025
  • 2 min read
Demokrasi Indonesia di Titik Nadir, Penguatan Bawaslu di Kaltara Dianggap Sia-sia Tanpa Integritas

Kalimantan Raya, Tanjung Selor  Diskusi mengenai Penguatan Kelembagaan BAWASLU di Hotel Luminor, Tanjung Selor, yang diproyeksikan sebagai langkah strategis pengawasan Pemilu di daerah, pada Senin, (27/10/2025), didominasi oleh kritik tajam dan analisis filosofis dari pengamat politik Rocky Gerung. Alih-alih membahas strategi pengawasan, Rocky Gerung justru membongkar keabsurdan kelembagaan Bawaslu yang dinilainya menutup-nutupi masalah.

Rocky Gerung mengawali paparannya dengan mengkritik judul acara Bawaslu yang sangat panjang dan rumit. Ia menilai panjangnya judul tersebut justru menunjukkan ada yang coba disembunyikan oleh institusi.

“Penguatan kelembagaan Bawaslu. Apa tuh kelembagaan tuh? Absurd. Bahkan disertasi, gak ada yang judulnya sehancur ini. Judul yang panjang sebetulnya menunjukkan ada yang mau disembunyikan. Itu namanya kejujuran tuh,” Ujar Rocky.

Sebagai seorang ahli filsafat bahasa, Rocky Gerung menantang Bawaslu untuk menjelaskan problem konkret yang menuntut penguatan kelembagaan. Ia menekankan bahwa inti dari kata institusi (instituere) adalah tentang membuat basis atau fondasi.

“Kalau ini diminta (penguatan), itu artinya Bawaslu terangkan dulu masalahnya apa. Sehingga perlu pelembagaan, perlu penguatan pelembagaan tuh,” lanjut dia.

Ia menyiratkan bahwa Bawaslu telah meminta publik untuk menghafal jargon penguatan tanpa memahami kompleksitas masalah yang sesungguhnya.

Kritik filosofis Rocky Gerung diperkuat oleh pandangan Anggota Komisi II DPR RI Dedy Sitorus yang menyoroti kegagalan kelembagaan pemilu pasca-Pemilu 2024. Dedy Sitorus menyimpulkan bahwa fokus pada penguatan kelembagaan, seperti penambahan Undang-Undang atau anggaran, tidak akan menyelesaikan masalah.

“Kita kasih kewenangan undang-undang segala macam perangkat anggaran, apa yang enggak kita kasih? Selesai enggak? Enggak. Kewenangan yang kuat dengan mental pengecut, mental kong kali kong, sama aja bohong, Pak,” Kata Dedy.

Dedy menambahkan bahwa persoalan tersebut bukan hanya terletak pada Bawaslu sebagai institusi, yang ia sebut sebagai masyarakat kelas 2 yang rentan kong kali kong dengan KPU, melainkan pada keberanian manusianya.

Menyimpulkan diskusi, narasi yang mendominasi adalah perlunya pergeseran fokus. Persiapan pengawasan Pemilu di Kalimantan Utara harus didasarkan pada kesadaran mendasar bahwa kerangka hukum tidak akan bekerja tanpa integritas individu.

Inti dari solusi pengawasan terletak pada masyarakat itu sendiri. Dedy Sitorus menekankan, ‘Yang harus diperkuat itu masyarakat. Kesadarannya supaya kuat, gak jadi korban,’ memperkuat pandangan bahwa penguatan fondasi demokrasi harus dimulai dari kejujuran dan keberanian publik, bukan dari abstraksi kelembagaan.