Kalimantan Raya, Tarakan – Polemik berkepanjangan antara puluhan petani dengan PT Phoenix Resources International (PRI) mencuat ke permukaan dalam diskusi hukum bertajuk “Membedah Kebuntuan Kasus PT PRI: Perlindungan Hukum Lahan Warga dan Tanggung Jawab Korporasi” yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Kalimantan. Acara ini berlangsung pada Kamis, (13/11/2025) di Caffe Relate, Kota Tarakan.
Dalam diskusi tersebut, Yapdin, perwakilan dari 32 masyarakat pemilik lahan yang terdampak, memaparkan secara gamblang dugaan praktik intimidasi, pengabaian, hingga kerusakan lingkungan yang ditudingkan kepada pihak perusahaan. Petani menduga, aktivitas pabrik telah melumpuhkan total lahan pertanian seluas kurang lebih 8 hektare milik warga.
Yapdin mengungkapkan bahwa awal penderitaan petani bermula dari dugaan banjir akibat kegiatan penimbunan lahan saat PT PRI mulai membangun pabriknya. Bencana ini, yang terjadi sekitar tahun 2022, menyebabkan tanaman seperti singkong dan cabai lumpuh total.
“Memang kelihatan hidup, tetapi ketika dicabut, sudah busuk semua,” ujar Yapdin, menirukan kondisi tanam tumbuh saat itu.
Yapdin mengaku telah berulang kali menyampaikan aduan kepada pihak PT PRI, bahkan sebelum dampak banjir meluas, tetapi tak ada tindak lanjut. Upaya penyampaian aduan ini bahkan sempat dihadang dan ia mengaku diintimidasi oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) yang diduga digunakan oleh perusahaan.
Tak berhenti di situ, upaya mencari solusi ke Pemerintah Kota Tarakan melalui pihak Kelurahan pun berakhir buntu.
“Dua kali saya ketemu ke kelurahan. Dua kali pula kelurahannya tidak bisa ditemui. Alasannya tidak ada di tempat,” kenang Yapdin.
Seiring berjalannya waktu, dampak buruk semakin terlihat. Tanaman tahunan milik warga, termasuk nangka, kelapa, dan lainnya, mulai mengering dan mati. Di sinilah kecurigaan warga beralih.
“Di situ kami kagetnya dan mulai menyuarakan ini. Kami curiga, ini bukan hanya persoalan banjir lagi,” tegasnya.
Setelah ditelusuri warga, terungkap bahwa lokasi pembuangan limbah PT PRI berada persis di belakang perkebunan warga dan dibuang melalui jalan warga tanpa batas pengaman. Hal ini membantah klaim perusahaan mengenai jarak aman pembuangan limbah.
“Makanya kalau pihak PRI mengatakan bahwa pembuangan limbah itu jarak limbah dan perkebunan warga cukup jauh, itu omong kosong,” kata Yapdin.
Warga menduga keras bahwa kematian tanam tumbuh tahunan ini disebabkan oleh pencemaran limbah, bukan lagi sekadar banjir. Para petani mengkhawatirkan dampaknya tidak hanya pada tanaman, tetapi juga keselamatan dan kesehatan manusia di sekitarnya.
Berangkat dari kerugian yang diperkirakan terjadi sejak 2022, perwakilan petani membawa hitungan kerugian total ke pihak perusahaan. Awalnya, masyarakat menuntut ganti rugi sebesar Rp2 miliar per tahun selama PT PRI beroperasi.
Saat pertemuan dengan Manajer dan Humas PRI, perusahaan memberikan satu solusi, yakni membeli lahan warga. Manajer PT PRI bahkan mengakui bahwa lahan tersebut memang sudah direncanakan untuk dibeli sebagai tempat limbah.
Warga menyanggupi penjualan lahan tersebut dengan satu catatan, yakni dengan harga yang disepakati bersama, yaitu Rp500 ribu per meter persegi. Harga ini sudah mencakup nilai lahan, bangunan, sarang walet, tanam tumbuh, serta kerugian yang dialami selama ini.
Kesepakatan harga Rp500 ribu per meter persegi ini dicapai setelah warga melakukan pemblokadean jalan. Perusahaan meminta waktu tiga minggu hari kerja untuk menyelesaikan pembayaran, dengan alasan limbah di pabrik sudah penuh dan agar blokade dibuka.
Sayangnya, waktu yang diberikan warga dimanfaatkan oleh perusahaan untuk hal lain.
“Ternyata tiga minggu hari kerja itu mereka pakai untuk membuka akses jalan baru mereka. Bukan untuk menyelesaikan masalah ini dengan warga,” ungkap Yapdin dengan nada kesal.
Setelah akses jalan baru untuk pembuangan limbah dibuka, sikap perusahaan berubah. “Mereka santai aja. Kami sudah punya jalan baru,” tambahnya, menirukan sikap acuh tak acuh perusahaan.
Masyarakat merasa dipermainkan dan akhirnya mengubah fokus tuntutan setelah beberapa kali Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dinilai selalu berpihak pada perusahaan. RDP terakhir dinilai menemui kebuntuan karena perusahaan selalu menolak solusi yang ditawarkan.
“Semua pihak mengikuti maunya PRI. Kami RDP terakhir, kami sudah ikuti maunya PRI dan pemerintah. Apa itu? Kami tidak jual lahan itu lagi. Tetapi ganti tanam tumbuh aja, dan kerugian kami selama ini. Pakai appraisal,” kata Yapdin.
Saat disederhanakan, Yapdin menegaskan bahwa tuntutan masyarakat kini hanya berpegang pada tiga poin kunci:
-
Ganti tanam tumbuh yang sudah mati dan kerugian sejak tahun 2022.
-
Kembalikan lahan menjadi lahan produktif.
-
Perbaiki drainase dan jangan buang limbah di situ.
Yapdin menutup penjelasannya dengan permohonan kepada semua pihak terkait agar tidak menggendong PT PRI dan membiarkan perusahaan bertanggung jawab menyelesaikan masalahnya dengan masyarakat, yang disebutnya sebagai petani mandiri yang berjuang menghidupi keluarga mereka.
“Kami tidak mau makan PRI itu kok. Kami bukan mau bunuh itu manajernya. Tapi biarkan dia selesaikan masalahnya,” tutup Yapdin, menuntut keadilan.





