
Kalimantan Raya, Tarakan – Direktur Pusat Kajian Hukum dan Perundang-undangan, Mumaddadah, menyampaikan keprihatinannya atas proses hukum yang menimpa Muhammad Maksum, tokoh agama sekaligus imam masjid di Kota Tarakan. Kasus ini menjadi sorotan setelah ramai diperbincangkan publik dan viral di berbagai media.
Mumaddadah menilai langkah penahanan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Tarakan seharusnya tidak diambil secara gegabah. Ia menjelaskan, meski kewenangan jaksa untuk melakukan penahanan diatur dalam Pasal 20 ayat (2) KUHAP, namun pertimbangan tersebut harus merujuk pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Pasal tersebut menegaskan penahanan hanya dapat dilakukan apabila ada alasan mendesak, seperti kemungkinan tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
“Kalau kita lihat dalam perkara ini, seharusnya ada pertimbangan yang lebih mendalam. Penahanan tidak boleh hanya dijadikan formalitas tanpa melihat esensi pasal tersebut,” tegasnya.
Ia juga menyoroti adanya indikasi standar ganda dalam penanganan perkara. Menurutnya, aparat penegak hukum cenderung lebih cepat memproses laporan dari pihak yang memiliki modal dan kekuatan, sementara bersikap kurang objektif terhadap perkara yang melibatkan tokoh masyarakat.
“Ini memprihatinkan, apalagi jika terlihat ada upaya ‘mencocok-cocokkan logika’ dalam proses hukum yang sedang bergulir. Hal ini justru menambah sorotan publik terhadap kinerja APH,” ujarnya.
Sebagai bentuk respon moral, Mumaddadah mengajak berbagai elemen mulai dari tokoh masyarakat, tokoh agama, advokat, praktisi hukum, hingga mahasiswa—untuk bersatu dalam wadah Satuan Masyarakat Anti-Mafia Tanah. Menurutnya, gerakan ini penting untuk menolak praktik hukum yang dinilai tidak berkeadilan.
Ia menutup pernyataannya dengan pesan tegas: “Kalau ingin melihat negara ini dekat dengan rakyat, maka lihatlah kebijakan yang diambil oleh negara.”
Disadur dari kaltaraa1.com