GAYA HIDUP – Belakangan ini, istilah “Jam Koma” yang berkaitan dengan kesehatan mental menjadi populer di kalangan Gen Z. Di media sosial seperti Thread dan TikTok, banyak warganet yang membahas tren ini. Sebenarnya, apa itu Jam Koma dan bagaimana cara mengatasinya?
Dosen dan Psikolog Universitas Islam Bandung (Unisba), Dinda Dwarawati, menjelaskan bahwa Jam Koma adalah kondisi ketika seseorang merasa kehabisan energi, sehingga motivasi menurun dan pikiran menjadi “buntu” atau kehilangan ide segar, terutama terkait pekerjaan.
Meskipun belum ada definisi khusus dalam psikologi mengenai fenomena ini, kondisi ini dapat dijelaskan sebagai keadaan stuck yang menandakan seseorang butuh istirahat.
“Sebenarnya, ini situasi alami yang sering dialami pekerja. Intinya mirip dengan fatigue, burnout, atau overload. Namun, ini bisa menjadi masalah jika terus dibiarkan,” kata Dinda, (1/11/2024).
Pada dasarnya, kapasitas mental seseorang memiliki batas. Jika pekerjaan dilakukan tanpa henti, rasa bosan bisa berubah menjadi kelelahan mental atau mental fatigue, yang dapat memengaruhi fungsi mental, sosial, dan emosional seseorang.
Fenomena Jam Koma juga berdampak pada efisiensi kerja, meningkatkan risiko kesalahan, serta menurunkan kreativitas. Tanda-tanda Jam Koma termasuk sulit berkonsentrasi, mudah lupa, dan kelelahan terus-menerus.
Kelelahan ini juga bisa disebabkan oleh penggunaan gawai yang berlebihan, terutama pada Gen Z yang sering mengakses media sosial. Hal ini menimbulkan eksplorasi informasi berlebihan yang melelahkan otak.
“Rasanya seperti semua hal harus dimaknai, semua penting, dan harus cepat tanggap, sehingga otak sudah lelah duluan,” ujarnya. Ditambah dengan berbagai pekerjaan, kondisi stres pun sulit dihindari.
Emosi yang muncul bisa berupa rasa malas, mudah marah, lambat berpikir, hingga kecenderungan mengikuti orang lain tanpa membuat keputusan sendiri.
Mengatasi Jam Koma
Dinda menyarankan untuk mengelola waktu dengan baik, termasuk waktu istirahat agar terhindar dari kelelahan.
Ada empat jenis istirahat yang bisa dilakukan saat bekerja. Pertama, istirahat spontan atau jeda singkat setelah menyelesaikan pekerjaan intens. Kedua, istirahat curian, yakni jeda yang diambil saat beban kerja terlalu berat. Ketiga, istirahat yang diatur oleh prosedur kerja atau mesin. Terakhir, istirahat yang diatur berdasarkan peraturan, seperti istirahat 1 jam setelah 4 jam kerja atau istirahat 15 menit setiap 2 jam kerja.
Agar tetap produktif, Dinda menyarankan untuk menghindari hal-hal yang bisa mengganggu fokus, terutama jika tidak terkait pekerjaan. Mulailah dari pekerjaan ringan secara bertahap agar energi tidak habis di awal.
“Seperti kurva, ada rendah, kemudian naik pelan-pelan, sampai puncak, lalu turun sedikit-sedikit,” ujarnya.
Dia juga menyarankan untuk beristirahat singkat setiap jeda waktu tertentu dan menyediakan air minum di meja kerja. “Bisa juga bekerja sambil mendengarkan musik yang menstimulasi otak agar tetap semangat,” katanya.