Janji Perbaikan Akses di Perbatasan Kaltara Dikejar Realita Jalan Rusak

Kalimantan Raya, Tanjung Selor – Di tengah lantangnya pernyataan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) soal komitmen membenahi aksesibilitas wilayah perbatasan, warga di Krayan dan sekitarnya masih harus berkutat dengan lumpur, jalan rusak, dan fasilitas dasar yang minim. Pernyataan rencana yang diumbar justru kontras dengan kenyataan di lapangan yang belum banyak berubah.
Penjabat Sekretaris Daerah Kaltara, Bustan, belum lama ini menyampaikan bahwa Pemprov akan mengupayakan perbaikan akses wilayah perbatasan dengan berbagai pendekatan, mulai dari kerja sama antarprovinsi, hingga pendanaan non-APBD seperti Corporate Social Responsibility (CSR) dan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
“Kita akan berupaya agar pembiayaan infrastruktur tidak hanya mengandalkan APBD,” kata Bustan seperti dikutip Detik, Sabtu (20/4).
Namun, janji tersebut segera berhadapan dengan kenyataan di Krayan. Di sana, jalan utama yang menghubungkan desa-desa masih sering berubah menjadi kolam lumpur saat hujan datang.
“Setiap musim hujan, kendaraan tidak bisa masuk. Sembako pun harus kami pikul,” ujar Yustinus, warga Long Midang, kepada A-News.
Bahkan Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) Kaltara, Ferdy, secara terbuka mengakui bahwa pembangunan di wilayah perbatasan masih menghadapi setidaknya tujuh persoalan utama.
“Mulai dari jalan tidak berfungsi optimal, listrik, jaringan telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, hingga air bersih,” ujar Ferdy dalam forum DPRD seperti diberitakan Radar Tarakan.
Masalah infrastruktur ini sebenarnya bukan isu baru. Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin, saat kunjungan ke Kaltara tahun lalu menyebut bahwa masih banyak wilayah di perbatasan yang hanya dapat dijangkau lewat sungai atau udara.
“Akses darat yang dijanjikan, banyak yang belum selesai,” katanya.
Sejumlah guru dan tenaga kesehatan pun mengeluhkan dampaknya terhadap pelayanan publik. Maria, guru SD di Krayan Selatan, harus berjalan kaki sejauh 4Kilometer setiap hari karena tidak ada kendaraan yang bisa melewati jalan desa.
“Kami seperti hidup di negeri yang tak terlihat,” ujarnya.
Meski pemerintah pusat telah mengalokasikan dana miliaran untuk jalan perbatasan, pelaksanaannya di daerah masih kerap tersendat. Proyek jalan strategis nasional, misalnya, beberapa kali dilaporkan mangkrak atau cepat rusak karena buruknya kualitas pekerjaan dan lemahnya pengawasan.
Di tengah deretan rencana dan wacana, warga perbatasan hanya berharap satu hal: pembangunan yang benar-benar menyentuh tanah tempat mereka berpijak.