
Kalimantan Raya, Tarakan – Lingkar Hantam atau Pusat Studi dan Pergerakan Hukum Kalimantan Utara kembali menggelar forum diskusi, analisa, dan kajian hukum bertajuk “Rusak Hukum” pada kamis sore, (28/8), di Meeting Room Hotel Lotus Panaya, Kota Tarakan. Agenda ini secara khusus menyoroti problematika pidana pertanahan yang dinilai kerap menimbulkan ketidakadilan dalam praktik penegakan hukum.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Harapan Keadilan Kalimantan Utara, Alif Putra Pratama, menjelaskan kegiatan tersebut merupakan bagian dari program pendidikan hukum yang sudah berjalan sejak Januari 2025. Program itu menyasar masyarakat kurang mampu dan kelompok buta hukum agar lebih memahami hak mereka saat berhadapan dengan persoalan hukum.

Namun, lanjut Alif, perjalanan program tidak selalu mulus. Salah satu hambatan terbesar justru muncul di ranah praktik penegakan hukum. “Banyak perkara, khususnya pidana pertanahan, mengalami kendala di penyidikan. Tarakan dengan lahan sempit dan penduduk padat, membuat konflik tanah dan dampak hukumnya tak terelakkan,” ujar Alif usai forum.
Dalam forum kali ini, Lingkar Hantam secara eksklusif mengangkat tema perkara pertanahan, termasuk menelaah proses hukum yang melibatkan Haji Muhammad Maksum yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Tarakan. Meski tidak masuk ke substansi perkara karena masih berjalan, Alif menekankan pentingnya mengkaji prosedur sejak tahap penyelidikan hingga penuntutan.
“Kami tidak mau berkomentar sebelum ada putusan pengadilan. Tapi yang perlu dilihat adalah apakah proses dari penyelidikan sampai prapenuntutan sudah sesuai dengan KUHAP,” tegasnya.
Alif juga menyoroti adanya dugaan perlakuan berbeda aparat dalam menangani laporan masyarakat. Ia mencontohkan, ketika warga biasa melaporkan dugaan pemalsuan surat dan penyerobotan lahan, penyidik kerap meminta surat asli yang dianggap palsu. Jika tak mampu menunjukkan, perkara itu sering dihentikan lewat SP3.
Menurutnya, kondisi ini menimbulkan kesan standar ganda dalam penanganan perkara. “Kalau memang alasan perdata dijadikan dasar untuk SP3, maka seharusnya berlaku untuk semua. Jangan hanya masyarakat kecil yang diminta perdata dulu, sementara perusahaan besar bisa langsung naik sidik,” kata Alif.
Lebih lanjut, ia menekankan perlunya konsistensi kejaksaan dalam menerapkan surat edaran terkait perkara tanah. “Di situ jelas disebutkan, sertifikat lawan sertifikat harus ke perdata, surat lawan surat juga wajib perdata. Tapi kalau menyangkut surat palsu, itu wewenangnya penyidik. Standar ini jangan sampai diterapkan setengah-setengah,” ujarnya.
Forum “Rusak Hukum” sore itu ditutup dengan diskusi terbuka bersama peserta, yang terdiri dari akademisi, mahasiswa, aktivis, serta warga yang pernah berhadapan dengan sengketa lahan. Lingkar Hantam menegaskan kegiatan semacam ini akan terus dilanjutkan sebagai ruang kritis untuk mendorong penegakan hukum yang adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia di Kalimantan Utara.