
Kalimantan Raya, Nunukan – Masyarakat adat Dayak Agabag Desa Bebanas kembali menyuarakan aspirasi mereka lewat aksi damai yang digelar pada Senin, (19/5), di depan kantor PT. Karangjuang Hijau Lestari (KHL). Aksi ini merupakan bentuk protes atas sengketa lahan adat yang telah berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian yang jelas.
Dalam aksinya, warga menuntut pengakuan dan pengembalian tanah adat yang kini telah dikuasai oleh pihak perusahaan. Mereka juga mendesak agar perusahaan memberikan ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat pemanfaatan lahan tanpa seizin masyarakat adat.
Warga menilai, upaya penyelesaian yang tengah difasilitasi oleh pemerintah desa dan lembaga adat, serta dimonitor oleh Pemerintah Kabupaten Nunukan, justru terganggu oleh tindakan intimidatif perusahaan. Dalam pernyataannya, perwakilan masyarakat menyebut PT. KHL telah memanfaatkan aparat negara untuk menekan warga, dengan melayangkan berbagai laporan hingga surat panggilan dari kepolisian tingkat Polsek hingga Polda.
“Selama proses penyelesaian berjalan, kami justru terus diteror oleh laporan-laporan dan panggilan dari aparat. Ini membuat masyarakat takut dan terintimidasi,” ujar salah satu perwakilan masyarakat.
Aksi damai yang dilakukan diwarnai dengan pembacaan pernyataan sikap resmi masyarakat Desa Bebanas, yang secara tegas menolak segala bentuk intimidasi, kriminalisasi, serta perampasan lahan oleh perusahaan kelapa sawit PT. KHL.

Dalam dokumen sikap tersebut, masyarakat menegaskan bahwa mereka telah mendiami wilayah adat secara turun-temurun dan memiliki hak atas tanah berdasarkan hukum adat. Mereka menyatakan tidak menolak investasi, tetapi menolak praktik sepihak perusahaan yang dinilai merugikan dan mengabaikan prinsip-prinsip musyawarah.
Tiga poin utama yang mereka sampaikan kepada manajemen perusahaan meliputi:
1. Menghentikan tindakan intimidatif terhadap masyarakat melalui jalur hukum;
2. Menghentikan upaya perampasan lahan tanpa persetujuan masyarakat adat; dan
3. Meminta aparat keamanan untuk bersikap netral dan mengayomi, bukan menekan warga.
Konflik ini disebut telah berlangsung sejak lama, bahkan sempat menelan korban berupa penahanan warga pada tahun 2021. Warga juga menyayangkan gagalnya tindak lanjut atas dialog yang pernah digelar bersama pihak perusahaan pada April 2024 di Malinau.
“Apabila suara kami terus diabaikan, kami siap menggelar aksi lanjutan dengan massa yang lebih besar,” tegas warga dalam pernyataannya.