
Kalimantan Raya, Tarakan – Sebuah ruang diskusi menghangat di Bius Coffee, Sebengkok, Tarakan, pada Minggu malam (11/5). Puluhan peserta dari beragam latar belakang berkumpul dalam gelaran “Negosiasi Punan“, sebuah acara yang memadukan nonton bareng (nobar) film dokumenter dan diskusi mendalam tentang masyarakat adat Dayak Punan. Dua film yang menjadi pusat perhatian adalah Flintstones Digital Rimba Bulungan karya Rohil Fidiawan dan Negosiasi Punan garapan Rhino Ariefiansyah.
Rohil Fidiawan, salah satu narasumber diskusi, menuturkan bahwa film-film tersebut menjadi cermin bagi kehidupan masyarakat Dayak Punan. “Flintstones Digital Rimba Bulungan merekam kehidupan Sandi dari komunitas Punan Batu di Gunung Sajau, sementara Negosiasi Punan menyoroti perubahan peradaban Punan di Sungai Tubu, Malinau,” ujarnya. Bagi Rohil, pendekatan observasional dalam kedua film menjadi jendela untuk memahami budaya dan pergulatan masyarakat Punan menghadapi perubahan.
Namun, bukan hanya soal penggambaran budaya yang menjadi perhatian. Diskusi juga mengupas tantangan yang dihadapi masyarakat adat Dayak Punan dalam mempertahankan tradisi mereka. “Kami lebih khawatir soal ruang hidup dan wilayah jelajah pencarian makan mereka. Tradisi bukan masalah utama, tetapi keberlanjutan hidup yang terancam,” tegas Rohil.
Akbar Prima, salah satu inisiator acara, menjelaskan bahwa “Negosiasi Punan” lahir dari kolaborasi dengan Kolektif Literasi Jalanan. “Kami sadar pentingnya ruang diskusi seperti ini untuk membangun kesadaran akan keadilan sosial bagi masyarakat adat Punan,” ujarnya. Menurutnya, acara ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi budaya, tetapi juga sebagai ruang kritik dan refleksi.
Sementara itu, Kiki dari Kolektif Literasi Jalanan Tarakan yang menjadi panitia pelaksana menyebutkan bahwa acara ini menjadi bentuk solidaritas terhadap masyarakat Punan Batu yang tengah berjuang mempertahankan ruang hidup mereka. “Perampasan ruang hidup menjadi ancaman nyata bagi mereka, dan acara ini menjadi suara solidaritas,” katanya.
Dengan antusiasme yang tinggi dari peserta lintas generasi, “Negosiasi Punan” tidak hanya menjadi perayaan budaya, tetapi juga upaya mempertahankan identitas dan ruang hidup masyarakat adat Dayak Punan. Kiki mengungkapkan bahwa kegiatan serupa masih akan terus diadakan sebagai bagian dari komitmen mereka dalam menyebarluaskan pengetahuan dan kesadaran budaya.