Sejak ditetapkannya wabah covid-19 sebagai pandemic global oleh WHO, wabah ini telah meluluhlantakan banyak aspek dalam kehidupan.
Pun di Indonesia, wabah ini juga berhasil menunda tahapan pemilihan kepala daerah yang akan dilaksanakan di tahun 2020 ini. Berdasarkan data dari KPU, bahwa ada 270 daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Terdiri dari 9 provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota se Indonesia.
Ditengah kondisi penyebaran wabah yang makin hari memperlihatkan jumlah yang senantiasa naik dari hari keharinya, seperti yang disampaikan oleh gugus tugas penanganan penyebaran covid-19. Membuat KPU mengeluarkan keputusan tentang penundaan tahapan pemilihan dalam upaya pencegahan penyebaran covid-19.
Rapat dengar pendapat dengan pemerintah dan DPR pun dilakukan guna membahas permasalahan ini. Alhasil pemilihan kepala daerah yang jika sesuai jadwal akan dilaksanakan pada 23 september 2020 diundur menjadi tanggal 9 desember 2020. Dengan catatan bawha pemerintah harus menerbitkan Perpu sebagai payung hukum dalam menunda dan melanjutkan pemilihan kepala daerah.
Perpu yang ditunggu-tunggupun akhirnya diterbitkan oleh pemerintah pada tanggal 04 mei 2020. Perpu No 2 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU no 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU no 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi UU.
Serba-serbi perpu pilkada.
Pertama, Perpu no 2 tahun 2020 ini merupakan payung hukum atau adanya kepastian hukum atas penundaan dan keberlanjutan pemilihan kepala daerah. Selain itu, Perpu ini penting agar penyelenggara memiliki acuan dalam membuat peraturan-peraturan teknis turunannya.
Kedua, meskipun perpu ini menyatakan pemungutan suara dilakukan pada bulan desember 2020, tetap saja harus memperhatikan kondisi wabah covid-19. Artinya jika wabah covid-19 belum berakhir pemungutan suara akan diundur lagi.
Bagaimana dengan tahapan penyelenggaran sebelum pemungutan suara?
Apakah akan tetap dijalankan?
Apabila pelaksanaan tahapan akan dilanjutkan dalam kondisi pandemic, maka KPU harus membuat PKPU yang tidak meninggalkan protokol penanganan penyebaran covid-19. Tahapan penyelenggaraan yang melibatkan banyak orang, mulai dari verfak paslon perseorangan, coklit data pemilih , kampanye dll sampai dengan pungut hitung suara.
Ketiga, didalam perpu juga tidak ada menyinggung tentang alokasi anggran ditengah pandemic. KPU harus memikirkan anggaran untuk pengadaan APD bagi pelaksana ditingkat bawah untuk melaksanakan tahapan penyelenggaran.
Keempat, Dalam perpu pilkada ini, ada 1 pasal yang diubah dan ada 2 pasal baru yang disisipkan diantara pasal yang lain.
Pasal yang diubah adalah pasal 120 (1) yang berbunyi ”dalam hal pada sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagian besar daerah atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan”.
Yang berbeda dengan UU sebelumnya hanya penambahan kata bencana non alam pada perpu tersebut. Mengingat pandemic covid-19 ini merupakan bencana non alam.
Pasal baru yang disisipkan diantara pasal adalah pasal 122A dan pasal 201A.
Kelima, kekhawatiran akan adanya konflik kepentingan. Pada pasal 122A ayat (2), pada ayat tersebut dinyatakan bahwa dalam hal penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah dan DPR.
Sebelumnya di UU 8 thn 2015 wewenang untuk menunda dan melaksanakan pemilihan lanjutan sepenuhnya ada ditangan dan atas usul dari KPU.
Yang unik dari pasal tersebut, bahwasahnya keterlibatan Pemerintah dan DPR dalam menentukan penundaan dan pelaksanaan dalam pilkada akan rawan terhadapa conflict of interest atau konflik kepentingan. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pemerintah dan DPR merupakan lembaga negara yang politis. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh mba Titi Angraini selaku Direktur Perludem.
Selain itu juga, keterlibatan Pemerintah dan DPR dalam pengambilan keputusan bersama dengan KPU, membuat lembaga penyelenggara pemilu ini sudah tidak mandiri lagi dalam melaksanakan tugasnya. Sementara seperti yag kita ketahui bahwa sifat mandiri merupakan prinsip yang wajib ada dalam setiap lembaga penyelenggara pemilu dan merupakan amanah UU. Saya mengkhawatirkan ketika prinsip mandiri sudah tidak dilaksanakan akan menjadikan momen pemilu atau pilkada tidak lagi jujur dan adil sesuai dengan azas.
Terakhir, mari kita sama-sama berdoa agar bencana pandemic covid-19 ini segera berakhir agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat dan mnghasilkan pemimpin yang memang diharapkan oleh rakyat.
Penulis :Arie Febriyan