October 10, 2025
Lifestyle

Tren “Laki-laki Tidak Bercerita” sebagai Ragam Maskulinitas di Asia

  • Oktober 9, 2025
  • 2 min read
Tren “Laki-laki Tidak Bercerita” sebagai Ragam Maskulinitas di Asia

KALIMANTAN RAYA, LIFESTYLE – Tren “laki-laki tidak bercerita” yang ramai di media sosial belakangan ini, sering diiringi kelakar satir, memicu perdebatan apakah fenomena menyimpan perasaan dalam diam ini merupakan bentuk dari toxic masculinity.

Menanggapi hal ini, Dra. Sri Kusumo Habsari, M.Hum, Ph.D, Dosen Kajian Gender di Universitas Sebelas Maret (UNS), menilai bahwa fenomena ini bukanlah toxic masculinity. Menurutnya, toxic baru terjadi ketika ada bullying terhadap mereka yang tidak mampu menunjukkan hegemonic masculinity atau norma kelelakian dominan.

Sebaliknya, Habsari memandang “laki-laki tidak bercerita” sebagai bagian dari maskulinitas Asia yang lebih halus.

“Diam, menangis dalam diam, atau berdoa adalah bentuk maskulinitas Asia yang lebih soft,” kata Habsari.

Ia menjelaskan bahwa dalam konteks Asia, kontrol diri yang tinggi dan ketenangan dianggap sebagai kualitas perilaku yang baik. Namun, Prof. Dr. Argyo Demartoto, M,Si, Dosen Sosiologi UNS, mengingatkan bahwa budaya patriarki yang kuat di Indonesia menciptakan standar ketat: laki-laki harus tampil kuat dan tegar, sehingga menahan emosi menjadi pilihan untuk mempertahankan citra keperkasaan.

Meskipun ini adalah ragam maskulinitas, menyimpan perasaan dalam diam bukanlah tanpa risiko. Dokter ahli kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, memperingatkan bahwa ketika laki-laki memilih untuk tidak bercerita, mereka membawa beban emosional yang lebih besar.

“Cerita itu cara alamiah untuk seseorang meredakan dan melepaskan emosinya,” ujar dr. Jiemi.

Tekanan menahan emosi ini, menurut Prof. Argyo, dapat menjadi bumerang yang berujung pada ledakan emosi atau perilaku kekerasan, termasuk KDRT. Dr. Jiemi bahkan menyoroti bahwa ketidakterbukaan ini turut berkontribusi pada tingkat bunuh diri yang lebih tinggi pada laki-laki, karena akumulasi perasaan tertekan yang tidak pernah diungkapkan.

Untuk mengatasi risiko ini, dr. Jiemi menyarankan agar laki-laki mulai bercerita. Ia menekankan bahwa bercerita tidak harus fokus pada kejadiannya, tetapi pada perasaan di balik kejadian tersebut, sekaligus menegaskan bahwa berbagi emosi bukanlah tanda kehilangan maskulinitas.