Anggota DPD Herman: Stop Kriminalisasi Guru
Belum tentu sejahtera dan kini mendapati fenomena baru: tersangka kriminal. Begitulah nasib guru kini. Berjuang untuk mendidik agar siswa memeroleh ilmu, sisi lain harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
TARAKAN – Kriminalisasi guru belakangan marak terjadi di Indonesia. Teranyar tahun 2024 ialah kasus Supriyani. Guru honorer yang mengajar selama 16 tahun di SD Negeri 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan yang dituduh menganiaya muridnya.
Kasus ini semakin menuai perhatian karena munculnya isu lain di luar persidangan terkait dugaan kriminalisasi dan permintaan uang damai.
Kejadian juga dialami Zaharman, guru SMA 7 Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu pada Agustus 2023. Mata Zaharman buta akibat diketapel oleh orangtua siswa, yang emosi mendapati informasi bahwa anaknya ditendang oleh Zaharman. Motif Zaharman menindak si siswa merokok area sekolah.
Kejadian lain menimpa guru SMP Raden Rahmat, Sambudi, Sidoarjo pada 2016 silam. Sambudi didakwa 6 bulan penjara karena mencubit tangan anak didiknya karena mengabaikan arahan Sambudi untuk salat duha berjamaah. Orangtua korban tak terima.
“Semoga kriminalisasi guru berhenti dan guru perlu mendapatkan perlindungan optimal,” tanggap satu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dapil Kalimantan Utara, Herman, 14 November 2024.
Senator muda ini mengakui bahwa selalu ada kausalitas ketika proses pengajaran terutama dalam mendisiplinkan murid. Guru berpotensi melakukan pelanggaran tak bisa dimungkiri. Namun, tidak semua pelanggaran yang terjadi selalu ke ranah pidana. Guru juga menerapkan kode etik dengan pelanggaran administrasi.
“Jika si guru melakukan perbuatan pidana, itu jelas ya, masuk ke ranah hukum pidana,” kata alumni Hukum Universitas Borneo Tarakan ini.
Pria yang akrab disapa Kemper ini berpendapat, dalam proses hukum soal kedisiplinan guru ke murid, seyogyanya dilakukan dengan pendekatan restorative justice.
“Mereka menyelesaikan bareng-bareng, berdialog, dan mencari solusi atau mengutamakan penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi) sebagai alternatif,” harap Kemper.
Tentang perlindungan kepada guru telah tersedia payung hukum berupa Permendikbud Nomor 17 tahun 2010 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan SK Dirjen GTK Kemendibudristek Nomor 3798/B.B1/HK.03/2024 tentang Petunjuk Teknis Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dalam Menjalankan Tugas.
Pada pasal 2 ayat (2) Permendikbud itu, kata Kemper, disebutkan bahwa perlindungan itu meliputi aspek hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja dan/atau hak atas kekayaan intelektual.
“Dan bab II SK Dirjen juga tertulis bahwa perlindungan hukum bisa berupa tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi dan perlakuan tidak adil,” jelas Kemper.
Pada dasarnya regulasi perlindungan guru sudah tertuang dari beberapa aturan di atas, namun DPD sebut Kemper juga akan terus mengawal dan mendorong upaya perbaikan regulasi terutama soal guru—termasuk upaya merevisi UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen atau senda dengan seruan Wakil Ketua Komite III DPD RI, Prof Dailami Firdaus belum lama ini.
Termasuk pembentukan atau mengoptimalkan kembali peran satgas perlindungan di tingkat pemerintah daerah sesuai SK GTK Kemendibudristek Dirjen nomor 3798/B.B1/HK.03/2024.
“Kadis Pendidikan tiap kabupaten kota atau provinsi bisa membentuk ini (satgas), namun jika sudah ada (satgas)-nya, kami harap kembali peran aktif soal perlindungan guru dan penting juga untuk terus menyosialisasikan tentang ini kepada guru, orangtua, stakeholder lainnya agar guru tak merasa sendiri tanpa pengayom ketika berurusan dengan hukum,” pesan Kemper.