
Kalimantan Raya, Tarakan – Lonjakan harga cabai rawit hingga Rp250 ribu per kilogram di Kalimantan Utara pada Selasa, (15/4), kembali mengulang ironi lama: daerah kaya sumber daya, tapi miskin kendali pangan. Bukan kali pertama harga cabai melonjak tak masuk akal, tapi tetap saja pemerintah seperti terkejut setiap kali krisis datang.
Data dari Katadata menyebut Kalimantan Utara menjadi provinsi dengan harga cabai rawit termahal di Indonesia pada tanggal tersebut. Kenaikan drastis ini menjadi alarm bahwa sistem distribusi pangan nasional masih jauh dari kata mapan.
“Ini bukan semata soal cuaca atau musim panen. Ada yang tidak beres dalam sistem distribusi kita,” ujar M. Ridwan, pengamat kebijakan pangan dari Universitas Mulawarman. “Selama ini kita terlalu tergantung pada pasokan luar dan tidak pernah serius memperkuat produksi lokal.”
Dari penelusuran sebelumnya, lonjakan harga cabai di Kalimantan Utara bukan hal baru. Pada 19 Maret 2024, harga menyentuh Rp175 ribu per kg. Turun sebentar menjadi Rp74.970 pada September, namun kembali melonjak hanya dalam waktu beberapa bulan. Fluktuasi liar ini menandakan bahwa ada yang lebih dalam dari sekadar hukum permintaan dan penawaran.
“Kalau harga cabai bisa naik terus dalam beberapa bulan, artinya kan gak sehat,” kata Rosmini, pedagang sayur di Pasar Gusher. “Kami yang di lapangan cuma bisa pasrah, sementara pembeli kadang marah-marah.”
Di tengah gegap gempita pembangunan Ibu Kota Nusantara yang digadang-gadang jadi simbol kemajuan, harga cabai rawit yang setara dengan daging sapi justru jadi pengingat bahwa kebutuhan dasar rakyat masih belum terjamin.
Langkah darurat seperti operasi pasar seringkali hanya jadi tambal sulam. Tanpa pembenahan serius dalam infrastruktur penyimpanan, akses logistik, dan insentif bagi petani lokal, harga-harga akan terus bergejolak dan rakyat kecil akan terus jadi korban.