
Kalimantan Raya, Tarakan – Di sepanjang pesisir Binalatung, gelombang kecil tak mampu menyamarkan jerit sunyi para petani rumput laut. Komoditas andalan yang dulu sempat menjanjikan, kini tak lagi membawa kesejahteraan. Harga jual yang stagnan, biaya produksi yang terus membubung, dan tak kunjung hadirnya intervensi dari negara membuat para petani kian terbenam dalam kecemasan.
Marwan, salah seorang petani rumput, sudah lebih dari enam tahun menggantungkan hidup dari laut. Ia masih ingat betul, bagaimana harga rumput laut sempat melambung hingga Rp30 ribu per kilogram pada 2022. Namun sejak harga terperosok ke angka Rp8 ribu tahun lalu, tak ada lagi kabar baik dari pasar.
“Sejak turun ke Rp8.000 itu, tak pernah naik lagi. Kita tidak tahu kenapa,” keluhnya pelan di beranda rumahnya, Sabtu siang lalu.
Harga boleh tak bergerak, tapi biaya produksi justru terus melonjak. Untuk satu musim tanam dengan 200 bentangan, Marwan harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah: dua jeriken bensin seharga Rp1,8 juta, oli Rp100 ribu, pelampung botol bekas seharga Rp700 per biji, dan tali tambang yang menyedot hingga Rp470 ribu. Belum lagi upah tenaga tambahan jika diperlukan, Rp100 ribu per orang, per hari.
Dengan hasil panen maksimal satu ton, itu pun jika cuaca bersahabat, keuntungan bersih nyaris tak tersisa.
“Kadang hanya cukup buat balik modal, bahkan seringnya cuma cukup buat makan sehari-hari,” katanya lirih.
Cerita serupa datang dari Nurmaini, yang sudah 15 tahun mengikat benang-benang rumput laut. Upahnya dulu sempat menyentuh angka Rp10 ribu per bentangan, kini kembali merosot ke Rp8 ribu.
“Turunnya harga bikin pendapatan ikut anjlok, padahal kebutuhan hidup terus naik,” ujarnya. Sorot matanya menyiratkan lelah yang tak hanya berasal dari pekerjaan.
Baik Marwan maupun Nurmaini berharap ada uluran tangan negara. Mereka tak menuntut banyak hanya harga yang wajar, agar jerih payah di laut tak hanya berakhir sebagai catatan rugi.
“Sudah tiga tahun harga begini-begini saja. Kami butuh solusi, bukan janji,” pungkas Nurmaini.
Dan di ufuk Tarakan yang berwarna kelabu, harapan para petani masih menggantung, seperti rumput laut yang belum sempat panen.