October 6, 2025
Ekonomi Nasional

Mulai 1 Agustus, Transaksi Kripto Wajib Kena Pajak: Ini Rincian Aturan Baru dari Menkeu Sri Mulyani

  • Agustus 1, 2025
  • 2 min read
Mulai 1 Agustus, Transaksi Kripto Wajib Kena Pajak: Ini Rincian Aturan Baru dari Menkeu Sri Mulyani

Kalimantan Raya, Nasional – Pemerintah kembali menyempurnakan kebijakan perpajakan atas transaksi aset kripto. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah menetapkan bahwa mulai tahun pajak 2026, transaksi aset kripto akan dikenakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang lebih tinggi, namun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas aset kripto dibebaskan.

Kebijakan ini dirancang untuk menyederhanakan prosedur perpajakan serta memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasi bagi para pelaku perdagangan aset kripto di Indonesia.

“Untuk memberikan kepastian hukum, kesederhanaan, dan kemudahan administrasi. Perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto,” demikian kutipan konsideran dalam beleid yang terbit 25 Juli 2025 itu.

Dalam PMK ini, aset kripto dikategorikan sebagai instrumen yang diperlakukan seperti surat berharga, sehingga tidak lagi dikenakan PPN langsung atas perdagangannya. Namun demikian, jasa penunjang seperti penyediaan platform digital (PPMSE) dan penambangan aset kripto tetap dikenakan PPN sebesar 11%.

Jenis transaksi yang termasuk dalam jasa kena pajak ini mencakup jual beli aset kripto menggunakan mata uang fiat, pertukaran antar aset kripto (swap), serta layanan penyimpanan dompet digital.

Penyesuaian besar juga dilakukan terhadap tarif PPh Pasal 22 Final. Untuk transaksi aset kripto yang dilakukan melalui penyelenggara terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), tarif PPh naik dari sebelumnya 0,1% (PMK 68/2022) menjadi 0,21%.

Sementara itu, bagi transaksi kripto yang terjadi melalui platform digital lainnya, penghasilan yang diperoleh akan dikenakan PPh sebesar 1% dari total nilai transaksi. Penyetoran dan pelaporan PPh tersebut menjadi tanggung jawab pihak penyedia platform digital.

PMK ini juga secara tegas menyatakan bahwa jika penghasilan dari transaksi kripto dikenakan pajak di luar negeri, maka PPh luar negeri tersebut tidak bisa dikreditkan terhadap PPh dalam negeri. Ketentuan ini ditujukan untuk mencegah penghindaran pajak berganda antarnegara.

Pemerintah akan memberikan sanksi administratif kepada pihak yang tidak mematuhi ketentuan pajak dalam regulasi ini. Sanksi diberikan mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Sebagai ilustrasi, jika seseorang menjual 0,7 koin kripto senilai Rp500 juta, maka tarif PPh final 0,21% akan menghasilkan pungutan sebesar Rp735 ribu. Pajak tersebut wajib disetor dan dilaporkan dalam SPT Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sesuai jadwal.

Kebijakan ini diharapkan menciptakan keadilan fiskal dalam perdagangan aset digital serta memperkuat pengawasan fiskal terhadap pertumbuhan pesat industri kripto di Indonesia. Pemerintah juga menegaskan komitmennya untuk terus menyesuaikan regulasi sejalan dengan dinamika teknologi finansial yang terus berkembang.