Penulis :Rawan R. Wijaya
Kader HMI Cabang Makassar Timur
Politik Anak Muda: Bisakah Memberi Makna?
“kehancuran ditandai dengan porak-porandanya ruang, dari ruang yang tertata menjadi ruang yang geprek. Politik tanpa ruang adalah utopia yang dipaksakan”.
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) nampaknya berjarak tidak jauh lagi, hal tersebut diproyeksikan akan terlaksana pada 2024 mendatang. Informasi mengenai hal itu hadir seusai rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI bersama KPU dan Kementrian Dalam Negeri di gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta (24/1/2022). Kehadiran momentum pemilu ditandai dengan hadirnya bakal calon yang bermunculan secara massif. Momentum pemilu 2024 hadir dengan nuansa yang berbeda, hal ini dimeriahkan oleh banyaknya anak muda yang turut berpartisipasi sebagai calon anggota legislatif. Signifikansi anak muda dari pada momentum pemilu-pemilu sebelumnya adalah spirit baru pada 2024.
Berbondong-bondongnya anak muda maju sebagai caleg di pemilu 2024 tentunya memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari aktivis, artis, darah biru politisi, utusan ayah ibu dan lain sebagainya. Keragaman latar belakang ini dipersatukan dalam jenjang usia yang sama, kategori anak muda.
Anak muda menurut peraturan perundang-undangan adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun, sebagaimana dicantumkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang kepemudaan. Sedangkan menurut International Youth Year pada 1985 bahwa penduduk yang berusia 15 sampai 24 tahun dapat dikategorikan sebagai anak muda. Berdasarkan dua pengertian di atas, seseorang dapat dikatakan pemuda apabila usianya kurang dari 30 tahun dan lebih dari 15 tahun.
Partai dan Anak Muda
Dilansir dari hasil survei Centre for Strategic and International (CSIS) pada Agustus 2022, Partai Golkar menjadi Partai Politik terpopuler di kalangan anak muda. PDI Perjuangan menempati peringkat kedua, lalu ada Partai Gerindra, Partai Demokrat, Perindo, PAN, PKS, Hanura dan PKB.
Ada semacam kesadaran popularitas lintas generasi pada tubuh partai, bahwa anak muda harus terlibat, konstituen tidak stagnan, sehingga membentuk sub-organisasi pemuda. Banyak anak muda yang diberi ruang oleh partai, semoga ini bukan taktik gimik politik yang habis manis sepah dibuang.
Apa yang diperjuangkan?
Sebenarnya anak muda mewakili kepentingan siapa? Mewakili kepentingan orang tua atau untuk mempertahankan status quo. Salah satu isu penting yang diperjuangkan anak muda adalah isu krisis iklim dan suramnya dunia kerja, berbeda dengan orang tua yang sering mengawal isu NKRI harga mati, demokrasi, nasionalis, religius dan perdebatan-perdebatan purba yang sudah selesai semacamnya.
Momen pemilu 2024 mendatang adalah kesempatan bagi anak muda untuk membawa bangsa Indonesia ke arah rehabilitasi iklim atau celakanya, ke arah semakin dekatnya kita pada hari kehancuran. Kehancuran ditandai dengan porak-porandanya ruang, dari ruang yang tertata menjadi ruang yang geprek. Politik tanpa ruang adalah utopia yang dipaksakan.
Anak muda harus ambil inisiatif baik melalui jalur dalam partai atau di luar partai, identifikasi kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan anak muda, kebijakan yang berdampak jangka panjang seperti mengenai lingkungan.
Isu lingkungan di Indonesia telah menjadi problem yang disebabkan oleh segelintir ulah manusia, yang hingga hari ini belum disolusikan. Sehingga wajar terjadi kerusakan alam dan kerusakan lingkungan. Seperti tercemarnya air sungai karena limbah industri, kerusakan hutan karena penebangan liar, banjir karena titik pembuangan air yang tidak tepat dan adanya pembiaran terhadap daerah aliran sungai, pencemaran udara karena dampak buruk dari perkembangan industri dan alat transportasi serta lain sebagainya.
Anak muda haruslah memperjuangkan isu lingkungan yang terkontekstualisasi dengan Indonesia, bukan yang ketimur-timuran dan bukan pula yang kebarat-baratan. Lingkungan menjadi isu anak muda karena akan berdampak pada generasinya di masa depan. Keadilan antargenerasi sebagai spirit baru anak muda dalam memasuki momentum kontestasi pemilu mendatang. Sebab, keadilan antargenerasi berimplikasi kepada pemberian dan penerimaan kemanfaatan secara berkelanjutan.
Dalam pandangan Weiss (1966), konsep keadilan antargenerasi bertujuan agar setiap generasi memiliki tingkat pemanfaatan yang setidaknya sama dengan tingkat pemanfaatan dari generasi sebelumnya, sembari menggalakkan terjadinya perbaikan keadaan bagi tiap generasi.
Anak muda yang terlibat sebagai caleg namun tidak turut mempersoalkan, atau bahkan apatis serta tidak mau terlibat dalam permasalahan krisis iklim dan isu lingkungan adalah anak muda akhir zaman yang mempercepat kita menyambut hari kehancuran.