June 22, 2025
Hukum Nasional

Tujuh Tahun Membisu, 33 Korporasi HTI Dituding Terus Rusak Hutan di 11 Provinsi

  • April 25, 2025
  • 2 min read
Tujuh Tahun Membisu, 33 Korporasi HTI Dituding Terus Rusak Hutan di 11 Provinsi

Kalimantan Raya, Jakarta – Sejumlah perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) kembali disorot. Selama tujuh tahun terakhir, 33 korporasi di 11 provinsi dituding tak kunjung menghentikan praktik perusakan hutan dan perampasan ruang hidup masyarakat adat. Di tengah desakan global melalui kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR), korporasi-korporasi ini justru menunjukkan sikap abai.

Temuan ini merupakan bagian dari laporan terbaru Koalisi Masyarakat Sipil 11 Provinsi, yang diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kamis, 17 April 2025. Laporan ini merinci hasil pemantauan lapangan dari Desember 2023 hingga Maret 2025 terhadap perusahaan-perusahaan HTI yang beroperasi di Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, hingga Papua.

“Korporasi HTI terus merusak hutan dan berkonflik dengan masyarakat adat dan tempatan,” ujar Datuk Aldo, Wakil Koordinator Jikalahari Riau.

Koalisi mencatat, sejak 2018 mereka telah melakukan pemantauan terhadap 122 korporasi, yang terdiri dari 109 perusahaan HTI dan 13 perusahaan sawit. Namun, menurut Aldo, pola pelanggaran tak banyak berubah konflik tenurial dibiarkan menggantung dan kerusakan ekosistem terus berlangsung tanpa pemulihan berarti.

Dua tahun silam, laporan serupa pernah diterima langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar. Saat itu, Siti membentuk Tim Kerja Pendukung untuk percepatan penyelesaian konflik tenurial dan penguatan tata kelola kehutanan. Namun, efektivitas tim tersebut dinilai belum menggigit.

“Kinerja tim yang dibentuk itu belum berjalan optimal,” kata Aldo.

Dalam laporan teranyar ini, koalisi menyoroti kelalaian korporasi HTI terhadap regulasi perlindungan gambut dan prinsip keberlanjutan. Mereka mencatat tak adanya penerapan komitmen No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE). Bahkan, ditemukan kembali pembukaan lahan dan penanaman akasia di zona lindung serta areal prioritas restorasi Badan Restorasi Gambut (BRG).

“Tidak ada upaya pemulihan gambut (rewetting, revegetation dan revitalisasi mata pencarian masyarakat setempat) yang dilakukan perusahaan di areal prioritas restorasi. Malah terdapat penanaman akasia di luar izin konsesi,” ujar Aldo.

Koalisi mendesak Kementerian Kehutanan untuk bertindak. Selain mengevaluasi izin perusahaan, mereka mendorong revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 yang memungkinkan izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) berlaku hingga 180 tahun.

“Koalisi ingin mendorong Kementerian Kehutanan mendorong pemerintah untuk mereview Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021” kata Aldo, sembari menekankan pentingnya sanksi bagi pelanggar, termasuk pencabutan izin bila perlu.

Di balik laporan ini, berdiri 14 organisasi dari berbagai penjuru Indonesia, mulai dari Walhi di Sumatera dan Kalimantan, hingga lembaga akar rumput di Papua. Mereka percaya, di tengah perubahan rezim, harapan terhadap keberpihakan negara kepada rakyat dan lingkungan semestinya bukan lagi mimpi.