April 26, 2025
Kaltara Tarakan

Api Perlawanan Belum Padam, LBH Hantam Gelar Diskusi dan Konsolidasi RUU TNI

  • April 25, 2025
  • 3 min read
Api Perlawanan Belum Padam, LBH Hantam Gelar Diskusi dan Konsolidasi RUU TNI

Kalimantan Raya, Tarakan – Pada Kamis malam yang dingin di Kota Tarakan, aroma kopi dari Relate Coffee bercampur riuh diskusi yang memanas. Di sebuah sudut kedai yang disulap menjadi ruang konsolidasi, Lembaga Bantuan Hukum Harapan Keadilan Kalimantan Utara atau yang akrab disapa LBH Hantam menggelar forum RUSAK HUKUM: Diskusi, Analisa, dan Kajian Hukum yang kali ini membedah Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan. Diskusi dan konsolidasi ini digelar pada Kamis malam, (24/4).

Tiga narasumber lintas latar hadir. Satu benang merah mengikat mereka: kekhawatiran terhadap kembali menguatnya peran militer di ruang sipil.

“Kembalikan TNI pada Mandat Konstitusi”

Alex Simangunsong, mahasiswa doktor hukum Universitas Diponegoro, membuka diskusi dengan nada akademik yang tegas. Menurutnya, pengesahan UU TNI baru ini mengkhianati semangat reformasi dan menabrak konstitusi.

“Kembalikan TNI sesuai dengan Pasal 30 ayat 3 UUD 1945, yaitu sebagai alat negara dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI,” ujarnya. “TNI merupakan alat negara yang netral dari intervensi politik apa pun, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 39 UU No. 34 Tahun 2004.”

Alex menegaskan, perubahan substansi dalam UU TNI membuka celah keterlibatan militer dalam urusan sipil, yang justru telah ditepis oleh reformasi sejak 1998.

Suara Akar Rumput: Reformasi yang Terpinggirkan

Sementara itu, Ismit Mado, tokoh pemekaran Kalimantan Utara, menyambung dengan nada yang lebih emosional. Ia menilai, RUU TNI ini adalah bentuk antitesis dari semangat reformasi yang diperjuangkan dua dekade lalu.

“Saya sepakat dengan Faisal Assegaf bahwa 27 tahun pasca reformasi, kondisi negara kita justru lebih bobrok. Lahirnya UU TNI ini justru menimbulkan pertanyaan, apa bedanya dengan UU Polri yang memberi ruang bagi polisi aktif?” ungkap Ismit.

Baginya, pembatas antara sipil dan militer semakin kabur. Padahal, amanat konstitusi jelas menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Kampus Bukan Barak

Nada penolakan juga disuarakan oleh Ndaru Teguh Prakoso, Presiden Mahasiswa Universitas Borneo Tarakan. Ia menggarisbawahi ancaman militerisasi kampus melalui regulasi baru ini.

“Dengan adanya percobaan militer masuk ke dalam ruang akademik akan mengancam kebebasan berpikir mahasiswa dalam menciptakan nalar kritis,” ujar Ndaru. “Kampus bukanlah barak, bukan pembentukan komando, namun wadah untuk melahirkan nalar kritis.”

Dalam diskusi tersebut, Ndaru menyerukan penyatuan barisan mahasiswa untuk melawan militerisasi yang perlahan merayap masuk ke dunia pendidikan.

Dari Diskusi ke Gerakan

Forum RUSAK HUKUM yang diinisiasi LBH Hantam bukan hanya ajang diskusi, tapi juga ruang konsolidasi. Sejumlah peserta mendorong agar wacana kritis terhadap UU TNI ini dijadikan agenda bersama lintas gerakan sipil. Mereka sepakat, demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan, tapi tentang siapa yang mengendalikan ruang-ruang sipil. RAKYAT atau MILITER.

Diskusi ditutup dengan pernyataan sikap bersama bahwa “Rakyat Sipil Menolak Militerisasi.”

Leave a Reply