April 19, 2025
Kaltara Pendidikan Tarakan

Air Mata Muntia: Potret Pilu Pengabdian yang Tersisih

  • April 18, 2025
  • 2 min read
Air Mata Muntia: Potret Pilu Pengabdian yang Tersisih

Kalimantan Raya, Tarakan – Suara lirih Muntia pecah di ruang rapat DPRD Kota Tarakan, Kamis, (17/4). Bukan sekadar keluhan, melainkan jeritan sunyi dari ujung utara pendidikan anak negeri. Di hadapan para wakil rakyat, guru TK dari Bengawan itu membuka luka lama tentang janji yang perlahan luntur, dan pengabdian yang terasa makin sunyi.

“Idulfitri kemarin kami tidak punya apa-apa,” ucap Muntia, nyaris berbisik. Kalimat itu menyimpan kepedihan panjang tentang insentif yang dihentikan tanpa aba-aba, ruang kelas yang ia bangun bersama mendiang ayahnya, dan tahun-tahun mengajar tanpa kepastian. Ia bukan statistik, tapi jiwa dari pendidikan usia dini yang nyaris tak tercatat.

Insentif yang dulu hanya Rp125 ribu, lalu naik menjadi Rp650 ribu, bukan sekadar nominal. “Kami mengajar karena ini pengabdian. Tapi tanpa dukungan, sampai kapan kami bisa bertahan?” katanya, menggugah nurani siapa pun yang hadir.

Ia tidak sendiri. Ratusan guru di Kalimantan Utara bernasib sama, mengajar dalam senyap, dengan listrik yang kerap absen dan upah yang tak pernah cukup. Tapi mereka tetap berdiri, karena keyakinan bahwa pendidikan adalah pondasi bangsa.

Dari kursi legislatif, suara keprihatinan muncul. Wakil Ketua I DPRD Kota Tarakan, Herman Hamid, menyayangkan langkah Pemerintah Provinsi yang menghentikan insentif tanpa masa transisi. “Jika efisiensi dilakukan demi memperkuat sektor pendidikan, maka insentif guru seharusnya ditambah, bukan dihapus,” tegasnya.

Ia mendukung langkah para guru dan PGRI menyuarakan kegelisahan ini langsung ke Gubernur Kalimantan Utara. Karena di balik papan tulis yang mulai lapuk dan kerja sampingan yang tak terhitung, para guru seperti Muntia hanya ingin satu hal: keyakinan bahwa negara tak akan berpaling dari pendidikan anak-anaknya.