April 19, 2025
Opini

Insentif Guru, Antara Komitmen dan Ketakutan Birokrasi

  • April 19, 2025
  • 3 min read
Insentif Guru, Antara Komitmen dan Ketakutan Birokrasi

Kalimantan Raya, Opini – Publik Kalimantan Utara (Kaltara) baru-baru ini dikejutkan oleh dihentikannya insentif guru dengan alasan adanya “temuan BPK”. Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kaltara menyebut bahwa insentif itu tidak lagi dianggarkan karena alasan efisiensi serta keterbatasan kewenangan provinsi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Namun, di saat Kaltara menghentikan insentif, provinsi tetangganya, Kalimantan Timur (Kaltim), justru menunjukkan komitmen besar terhadap para pendidik. Pemerintah Kaltim mengalokasikan Rp1,1 triliun untuk insentif guru pada tahun 2025, mencakup guru PNS dan honorer, baik di sekolah negeri maupun swasta. Bahkan, Rp50 miliar disiapkan untuk guru di daerah terpencil, dan insentif tambahan Rp500 ribu per bulan bagi guru honorer di wilayah tertentu.

Pertanyaannya: mengapa Kaltim bisa, sementara Kaltara tidak?

Jawabannya ada pada mekanisme. Pemprov Kaltim menyalurkan insentif sesuai aturan kewenangan. Guru SMA/SMK yang merupakan tanggung jawab provinsi menerima insentif langsung. Sementara untuk guru SD/SMP yang berada di bawah kewenangan kabupaten/kota, Kaltim menggunakan skema Bantuan Keuangan Antar Daerah. Dengan mekanisme ini, dana provinsi tetap mengalir tanpa melanggar hukum dan aman dari temuan audit.

Sebaliknya, Kaltara diduga menyalurkan insentif langsung ke guru SD/SMP tanpa melalui skema hibah atau bantuan keuangan ke pemerintah kabupaten/kota. Ini yang memicu temuan BPK, karena menyalurkan dana kepada pegawai di luar kewenangan administratifnya tanpa dasar hukum yang kuat. Padahal, Pasal 298 Ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014 justru membuka ruang sah untuk bantuan antar daerah, asal prosedurnya tepat.

Alih-alih memperbaiki mekanisme dan memahami regulasi secara cerdas, kebijakan insentif justru dihentikan sepenuhnya. Ini memperlihatkan lemahnya komitmen politik dan dominannya ketakutan terhadap birokrasi, ketimbang keberanian untuk membela hak guru.

Padahal, aspek kesejahteraan guru adalah hal mendasar dalam pembangunan pendidikan. Jika insentif benar-benar dihapuskan tanpa solusi alternatif yang adil, maka yang dikorbankan bukan hanya kesejahteraan para pendidik, tetapi juga masa depan peserta didik di Kaltara.

Masih banyak guru di Kaltara berstatus honorer, bahkan ada yang mengabdi di sekolah swasta dengan penghasilan jauh dari layak. Ambil contoh Ibu Muntia, seorang guru honorer yang sepenuhnya menggantungkan hidup dari insentif pemerintah. Ia, dan banyak guru lainnya, tidak menerima gaji tetap dari sekolah tempatnya mengajar. Bagi mereka, insentif bukan tambahan melainkan satu-satunya sumber penghidupan.

Bayangkan jika para guru seperti Ibu Muntia memutuskan berhenti mengajar karena tak mampu bertahan secara ekonomi. Berapa banyak siswa yang akan kehilangan hak atas pendidikan yang layak? Ini bukan sekadar soal administrasi, tapi soal hilangnya akses pengetahuan dan masa depan anak-anak bangsa.

Kini saatnya Kaltara belajar dari Kaltim. Aturan tidak untuk ditakuti, tetapi untuk dikelola dengan cerdas. Insentif guru bukan hal yang mustahil selama dilaksanakan dalam koridor hukum dan mekanisme yang benar.

Karena jika alasan utamanya hanya “takut temuan BPK”, lalu kesejahteraan guru dikorbankan, maka kita patut bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dilayani oleh pemerintah? Guru, atau audit?

Penulis : Anhari Firdaus
Menteri Kastrat BEM
Universitas Borneo Tarakan

Leave a Reply