TARAKAN – Sebanyak 753 warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tarakan ditemukan Bawaslu Kota Tarakan tak memiliki E-KTP saat proses coklit oleh petugas pemutakhiran data pemilih (PPDB) KPU Kota Tarakan.
Menindaklanjuti temuan tersebut, KPU dalam hal ini melakukan koordinasi dengan pihak Lapas Kelas IIA Tarakan. Dikatakan Jumaidah, Komisioner KPU Kota Tarakan Divisi Tekni dan Data,informasi adanya warga binaan Lapas Kelas IIA Tarakan yang tak memiliki E-KTP itu benar.
“Hanya ada sekitar 300-an warga binaan yang punya KTP. Kami koordinasikan ke Disdukcapil,” ujarnya.
Namun lanjut Jumaidah, dalam hal ini Disdukcapil tidak bisa melakukan pengecekan karena NIK yang tidak diketahui warga binaan bersangkutan. Berdasarkan rilis data yang ditemukan Bawaslu total ada sekitar 1.152 warga binaan Lapas saat ini. Artinya dengan temuan sekitar 753 warga binaan tak ber-KTP maka hanya sekitar 399 warga binaan yang mengantongi E-KTP.
“Dengan angka tersebut artinya hanya 399 yang punya hak pilih untuk saat ini. Kita belum dapatkan update terbaru lagi. Siapa tahu ada update data terkait misalnya seperti pilpres lalu, ada edaran dari atas menyarankan Disdukcapil datang ke Lapas untuk melakukan perekaman ulang sehingga mendeteksi riwayat perekaman daerah asal yang bersangkutan,” beber Jumaidah.Ia menegaskan dalam hal ini KPU sudah melaksanakan tugasnya. Dan sesuai aturan dalam PKPU bahwa hanya yang memiliki E-KTP saja yang bisa memiliki hak pilih.
Persoalan lainnya berdasarkan temuan Bawaslu ada sekitar 500-an rumah belum tercoklit. Jumaidah melanjutkan, atas surat dari Bawaslu tersebut, pihaknya sudah melakukan koordinasi ke PPK dan PPS untuk melakukan pengecekan langsung ke lapangan dengan data by name by address. “Kami turunkan ke bawah dan sudah mengecek yang disampaikan Bawaslu langsung kami tindaklanjuti dan kerjakan,” ujarnya.
Ia tak menampik ada sejumlah kendala yang dihadapi PPDb saat proses coklit. Di antaranya misalnya ada warga yang memiliki alamat dan domisili di KTP sama tetapi tidak menetap di alamat sesuai domisili KTP. Kemudian kedua, misalnya saat petugas datang, tidak bertemu dengan seluruh anggota dalam rumah. Sehingga kemungkinan terjadinya miss komunikasi.
“Misalnya pada saat coklit, sang istri yang menerima petugas. Suaminya ada di tambak. Saat kembali, dan Bawaslu datang menanyakan apakah sudah coklit, suami jawab tidak tahu. Hal seperti ini yang bisa menimbulkan miss komunikasi,” ujarnya.
Persoalan atau kendala lainnya yakni kepemilikan rumah ganda. Sehingga hanya satu rumah yang bisa dicoklit sesuai alamat domisili di KTP.
“Kawan-kawan PPK dan PPS sudah menjalankan tugasnya. Dan memang sudah menjadi kewajiban Bawaslu mengawasi kami dan dengan adanya saran yang masuk ke kami, kami justru berterima kasih sehingga ke depannya bisa menyajikan data lebih baik,” pungkasnya.
Penulis : Paccik