Kriminalisasi Gerakan Kolektif Literasi

Kalimantan Raya, Opini – Membaca buku, kritis, membuka ruang-ruang diskusi, harusnya menjadi budaya masyarakat demokrasi. Perpustakaan Jalanan atau lapak baca, adalah kolektif independen, tersebar di seluruh daratan, menjadi media alternatif untuk mengakses buku-buku yang dapat dibaca secara cuma-cuma. Sebuah perlawanan atas komersialisasi pengetahuan, di era pendidikan yang makin hari semakin mahal. Gerakan kolektif yang membawa esensi pengetahuan sebagai hak asasi manusia, bukan barang perdagangan.
Kegiatan yang diadakan begitu variatif, yaitu membaca, menulis, berhitung, dan berdiskusi, namun juga memiliki misi membangun kesadaran; pengetahuan itu adalah sabaik-baiknya bekal berkehidupan, buku sekuat-kuatnya amunisi, dan berbicara adalah sekuat-kuatnya senjata.
Baru-baru ini kita dapati kembali Perpustakaan Jalanan dan Lapak Baca, seringkali dikriminalisasi, dianggap mengganggu ketertiban, dan di anggap penyebaran ajaran kiri. Tak jarang kriminalisasi kolektif ini ditemui. UU No. 43 th 2007 tentang Perpustakaan ditegaskan, pemerintah wajib menjamin masyarakat mendapatkan akses informasi, dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) pun, menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat.
Jika menelisik sejarah, di era Orde Baru juga terdapat kriminalisasi buku-buku yang dianggap tidak pro atau kritis terhadap pemerintahan, tahun 2019 juga sempat terjadi pemberantasan buku-buku kiri secara besar-besaran. Pembubaran kegiatan kolektif buku jalanan juga seringkali mendapatkan tindakan represif.
Pemerintah Kabupaten Pati, tanggal 12 April 2025 kemarin, juga baru saja melakukan kriminalisasi kawan-kawan lapak baca, mereka didatangi SatpolPP dan dianggap mengganggu ketertiban umum. Di Kota Bandung juga pernah dilakukan pembubaran kegiatan Komunitas Perpustakaan Jalanan pada tahun 2016 oleh anggota Kodam III Siliwangi, tindakan di luar batas kewenangan TNI. Kegiatan promosi gemar membaca yang seharusnya didukung oleh semua pihak, ternyata harus berhadapan dengan arogansi dan dugaan kekerasan aparat TNI.
Sungguh miris melihat gerakan literasi, gerakan mencerdaskan kehidupan bangsa, justru dianggap risih bahkan dianggap mengganggu ketertiban bagi pemerintah. Yang seharusnya menjadi motor penggerak, menjadi garda perubaha dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, justru pemerintah melakukan tindakan-tindakan yang bertolak belakang dari prinsip berdemokrasi dan kemanusiaan.
Jika Buku dianggap ancaman, maka Membaca adalah bentuk perlawanan. Kami mengutuk pemerintah yang mengkriminalisasi gerakan Perpustakaan Jalanan dan Lapak Baca. Kami tak harus tunduk pada persekusi, sebab kami bukan polisi yang harus tunduk pada intruksi. Dalam buku Disobedience and democracy karya Howard Zinn mengatakan, “Demokrasi bukan soal prosedural, demokrasi itu adalah soal keberanian untuk tidak taat pada hukum yang menindas”. Jika perbuatan baik didzolimi, jika buku disita, jika mulut dibungkam, maka melawan adalah kebenaran.
Penulis : D.N Fardana
Literasi Jalanan Tarakan