
Kalimantan Raya, Tarakan – Lingkar Hantam Pusat Studi dan Pergerakan Hukum Kalimantan Utara menggelar forum diskusi hukum bertajuk “RUSAK HUKUM” pada Senin (12/8) di Relate Cafe, Tarakan. Kegiatan ini membahas dinamika hukum pidana di Indonesia, termasuk fenomena larangan pengibaran bendera bergambar tengkorak ala One Piece yang sempat memicu perdebatan publik.
Forum menghadirkan praktisi dan akademisi hukum H. Mumaddadah, S.H., M.H., yang menyoroti kerusakan integritas penegakan hukum di Indonesia. Ia menilai penyalahgunaan kewenangan, tumpang tindih regulasi, dan budaya impunitas sebagai faktor utama lemahnya sistem hukum.
“Hukum seharusnya jadi pagar, bukan pintu yang bisa dibuka-tutup sesuai kepentingan. Kerusakan hukum bukan hanya karena aturannya lemah, tapi juga pelaksananya yang bermain di zona abu-abu,” tegas Mumaddadah.
Dalam analisisnya, ia mengupas sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang kerap dikaitkan dengan kasus pengibaran bendera One Piece. Misalnya, Pasal 104 tentang makar terhadap presiden atau wakil presiden, Pasal 106 tentang upaya memisahkan wilayah dari NKRI, Pasal 107 ayat (1) tentang makar untuk menggulingkan pemerintahan, dan Pasal 108 terkait pemberontakan.
“Pertanyaannya, dari pengibaran bendera One Piece ini, apakah ada upaya membunuh, merampas kemerdekaan, menggulingkan pemerintahan, atau pemberontakan? Jawabannya tidak ada,” ujarnya.
Meski demikian, ia menilai bahwa ekspresi atau karya seni tetap bisa dipidana jika melanggar norma kebiasaan atau nilai yang berlaku di masyarakat.
Diskusi berlangsung interaktif dengan partisipasi mahasiswa, aktivis, akademisi, dan warga. Lingkar Hantam menegaskan kegiatan serupa akan digelar rutin sebagai bentuk partisipasi publik dalam mengawasi dan memperbaiki tata kelola hukum di Kalimantan Utara.
Kegiatan ditutup dengan kesimpulan bahwa reformasi hukum harus dimulai dari keberanian mengungkap fakta, membangun kesadaran kritis, dan menuntut konsistensi aparat penegak hukum dalam menjalankan sumpah jabatan.