November 16, 2025
Hukum Kaltara Tarakan

Pakar Hukum Siber Angkat Bicara Soal Kasus Penipuan berujung Pembobolan Rekening BNI Senilai Rp575 Juta

  • Mei 21, 2025
  • 3 min read
Pakar Hukum Siber Angkat Bicara Soal Kasus Penipuan berujung Pembobolan Rekening BNI Senilai Rp575 Juta

Kalimantan Raya, Tarakan – Kasus hilangnya dana nasabah senilai Rp575 juta di Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Tarakan terus menggelinding. Setelah kuasa hukum korban menyebut pihak bank tak bertanggung jawab dan memiliki sistem keamanan lemah, kini giliran akademisi angkat bicara.

Iskandar, warga Tarakan, mendapati dana dalam rekeningnya raib pada 15 April lalu. Yang janggal, limit transaksi harian saat itu seharusnya hanya Rp100 juta, namun dana hingga lebih dari setengah miliar rupiah bisa terkuras dalam satu hari. Saat Iskandar, pihak korban mendatangi kantor BNI, mereka tak mendapat penjelasan yang memadai. “BNI justru menyalahkan korban. Padahal jelas ini bukan kelalaian pribadi,” ujar kuasa hukum korban.

Mumaddadah, pengajar hukum siber dari Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, menilai kasus ini bisa ditarik ke ranah pidana maupun perdata. “Kalau kita bedah dari sisi hukum, ini komplikasi. Tapi yang paling terang adalah adanya prinsip kehati-hatian yang diabaikan oleh pihak bank,” ujarnya saat ditemui KaltaraRaya, Senin (19/5).

Menurut Mumaddadah, dalam Undang-Undang Perbankan, pasal 29 menyebut bahwa bank wajib mengelola risiko dan menjaga dana nasabah dengan prinsip kehati-hatian. Dana yang disimpan di bank, kata dia, bukan hanya soal angka, melainkan soal kepercayaan publik.

“Orang simpan uang di bank itu karena percaya uangnya aman. Kalau sistem keamanan bank lemah dan dana bisa dibobol begitu saja, kepercayaan itu runtuh,” kata dosen yang juga memiliki spesialisasi di bidang hukum pidana ini.

Ia juga menyoroti bahwa peristiwa ini masuk dalam ranah penyelenggaraan sistem elektronik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di sana, tepatnya di Pasal 15, disebutkan bahwa penyelenggara sistem elektronik, dalam hal ini bank, bertanggung jawab atas keamanan dan keandalan sistemnya.

“Jadi tidak bisa serta-merta menyalahkan nasabah. Sistem keamanan adalah tanggung jawab penyedia layanan. Apalagi ini menyangkut uang dalam jumlah besar,” ujarnya.

Mumaddadah mencontohkan, bank idealnya memiliki sistem proteksi berlapis seperti pengiriman kode OTP, deteksi transaksi tidak wajar, hingga konfirmasi ulang ke nasabah sebelum transaksi diproses.

“Beberapa bank, bahkan BUMN, saya lihat belum cukup tangguh dalam hal ini. Harusnya ada notifikasi, semacam ‘hold‘ dulu transaksinya sampai ada verifikasi ulang. Ini dasar dari sistem keamanan digital,” ucapnya.

Ia menambahkan, dalam sejumlah kasus peretasan yang pernah ia tangani sebagai ahli, pembobolan sering bermula dari hal sepele, seperti klik tautan yang tidak dikenali. Namun itu tak bisa dijadikan alasan untuk membebaskan tanggung jawab penyelenggara sistem.

“Literasi digital masyarakat kita masih terbatas. Maka justru sistem bank harus bisa memagari itu. Kalau sampai data bocor dan uang nasabah hilang, bank tetap bisa dituntut bertanggung jawab,” tegasnya.

Mumaddadah menyimpulkan, lemahnya sistem keamanan yang mengakibatkan kerugian dapat menyeret bank ke ranah hukum. “Sangat bisa. Karena sudah ada ketentuan hukum yang tegas. Kalau bank lalai, ya harus bertanggung jawab,” tutup dia.

Kasus Iskandar bukan hanya soal kehilangan uang, tapi juga ujian atas komitmen lembaga keuangan dalam menjaga amanat kepercayaan publik. Sebab, bagi banyak orang, uang di rekening bukan sekadar saldo. Ia adalah hasil kerja keras bertahun-tahun, dan seharusnya tidak hilang hanya karena satu klik.