
Kalimantan Raya, Nasional – Publik kembali dibuat gempar oleh dugaan penggunaan anggaran negara yang dianggap janggal. Kali ini, sorotan tajam diarahkan pada TNI Angkatan Laut (TNI AL), menyusul mencuatnya isu bahwa lembaga militer tersebut mengalokasikan dana hingga Rp 100 miliar untuk menyewa jasa buzzer, istilah yang kerap dilekatkan pada akun media sosial yang bertugas menggiring opini publik.
Isu ini berawal dari unggahan salah satu pengguna platform media sosial X (sebelumnya Twitter), yang menyebarkan tangkapan layar laman Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) milik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Dalam unggahan itu, terlihat adanya rencana pengadaan aplikasi bertajuk Information Response System oleh TNI AL.

Tak butuh waktu lama, unggahan tersebut viral di jagat maya. Hingga Sabtu, (4/1), atau dua hari setelah diposting, unggahan tersebut telah dibaca lebih dari 600 ribu kali, dibagikan ulang sebanyak 1.600 kali, serta mengundang ratusan komentar. Sebagian besar warganet mempertanyakan logika di balik program tersebut, bahkan mengecam langkah TNI AL yang dinilai tidak sesuai dengan fungsi dan peran institusi militer.
Sorotan publik kian tajam ketika membaca deskripsi pekerjaan dalam dokumen pengadaan tersebut. Disebutkan bahwa aplikasi yang dimaksud bertujuan “meminimalisir opini negatif terhadap TNI AL” melalui penyebaran informasi positif, dengan melibatkan Key Opinion Leader (KOL). Dalam praktiknya, strategi ini dilakukan melalui media sosial menggunakan metode penyampaian berulang, cara yang jamak dikenal sebagai kerja buzzer.
Namun, TNI AL segera membantah tudingan itu. Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama I Made Wira Hadi Arsanta, menjelaskan bahwa yang dirancang dalam proyek tersebut bukanlah penyewaan jasa buzzer, melainkan sistem pemantauan media.
“Itu untuk membuat sistem monitoring media dan media sosial,” kata Wira saat dihubungi pada Jumat, 3 Januari 2024.
Dalam keterangan tertulis yang dirilis kemudian, TNI AL menjelaskan bahwa Information Response System adalah aplikasi pengamanan informasi. Sistem ini dirancang untuk menjaga integritas data yang akan dipublikasikan, sekaligus mencegah penyebaran informasi yang bersifat manipulatif atau merugikan institusi.
TNI AL menegaskan bahwa pengamanan informasi menjadi salah satu kebutuhan strategis dalam menjalankan operasi militer di era digital. Aplikasi ini, menurut mereka, akan digunakan untuk mendeteksi serta menangkal penyebaran hoaks, disinformasi, maupun manipulasi data yang menyasar TNI AL di ruang media sosial.
Selain perangkat lunak, proyek pengadaan ini juga mencakup pembangunan infrastruktur penunjang seperti perangkat keras, sistem jaringan, dan layanan pendukung lainnya. Total nilai proyek yang tercantum dalam dokumen pengadaan mencapai Rp 100 miliar. Penggunaan sistem dijadwalkan berlangsung selama 21 bulan, dari Maret 2025 hingga Desember 2027.
Adapun proses pemilihan penyedia jasa direncanakan berlangsung pada Desember 2024 hingga Januari 2025, dengan pengumuman paket dilakukan pada 19 Desember 2024.
Wira menjelaskan bahwa dalam konteks keamanan nasional, medan pertempuran tidak hanya terjadi di lapangan, tetapi juga di ranah informasi. Perkembangan teknologi informasi saat ini disebut telah menjadikan media sosial sebagai arena yang tak terhindarkan dalam operasi militer, baik untuk pengumpulan data maupun sebagai bagian dari strategi komunikasi.
“Perang informasi itu nyata. Kami membutuhkan sistem yang bisa memantau dan menangani itu secara terbuka dan profesional, demi menjaga nama baik institusi serta kepercayaan publik,” ujar Wira.
Ia kembali menegaskan bahwa proyek tersebut bukanlah upaya menyewa pasukan buzzer, melainkan membangun sistem yang berbasis pengawasan dan pengelolaan informasi.
TNI AL pun menyatakan siap terbuka apabila dibutuhkan peninjauan ulang atau audit terhadap rencana pengadaan tersebut.
“Kami tetap mengutamakan transparansi, sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah,” pungkas Wira.