Politik Dinasti, Cara Nakal Politisi Mengebiri Demokrasi
Oleh : Agus Dian Zakaria Jurnalis dan Pegiat Literasi
Sejarah mencatat, Bumi Nusantara memiliki kaitan erat dengan sistem kepemimpinan yang dipimpin oleh seorang raja. Dengan wilayah yang cukup luas, sejak dulu Nusantara menjadi rumah bagi ratusan kerajaan yang menguasai masing-masing wilayah dalam menjaga eksistensinya. Meski romansa pelbagai kerajaan nusantara tergambar cukup indah di masa lalu, namun histori kerajaan juga menyimpan sisi kelam dalam kacamata sistem demokrasi. Hal itu tidak lain karena terbatasnya kebebasan dan hak tertentu yang dimiliki masyarakat serta adanya sistem tingkatan sosial yang kontras terjadi di masa lampau. Di sisi lain, hal itu membentuk sistem feodal yang kental. tidak semua masyarakat dapat berpenampilan layaknya bangsawan kerajaan, mendapat jaminan perlindungan yang sama, menentang kebijakan kerajaan, apalagi berniat menggantikan sang raja dalam melanjutkan estafet kepemimpinanya, kecuali mereka yang merupakan garis keturunan dari sang raja.
Pasca kemerdekaan, sistem kerajaan mulai mengalami kelunturan setelah disatukannya Nusantara. kondisi ini membuat posisi negara sebagai republik semakin menguat. Hal itu pula yang menjadi kekuatan negara dalam membentuk sistem yang dapat menyatukan semua anak bangsa. Sehingga kondisi itu membuat lahirlah Demokrasi yang dianggap sebagai sistem ideal mempersatukan semua bangsa di nusantara. Demokrasi menjelma sebagai tatanan pemerintahan yang dianggap paling tepat menggantikan sistem kerajaan di nusantara. Demokrasi menjadi napas baru yang diyakini memberi kedudukan yang sama kepada seluruh warga tanpa adanya kasta keturunan. Semua warga memiliki hak yang sama dalam mengemukakan pandangan untuk berkontribusi membangun bangsanya. Hal itu tertuang dalam sila ke 5 Undang-undang pancasila sebagai dasar negara. Aristoteles seorang Filsuf Yunani mengemukakan bahwa demokrasi ialah suatu kebebasan karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya.
Sebagai upaya menjaga kualitas Demokrasi, sejak tahun 2004 silam, pemerintah Indonesia telah melangsungkan Pemilihan langsung guna memberikan kebebasan memilih pada masyarakat. Namun pemilihan langsung yang sejatinya dibuat sebagai perwujudan Demokrasi dalam mencegah Oligarki dan Politik Dinasti, pada praktiknya tidak menjadi penghalang bagi sebagian politikus di Indonesia dalam membangun kekuasaan kekeluargaan semi kerajaan. Bermodal pengaruh kekuatan finansial dan kondisi ekonomi masyarakat yang masih banyak hidup di bawa garis kesejahteraan, membuat sebagian Politikus “nakal” memanfaatkan kondisi tersebut dalam melancarkan strategi Money Politic. Hal itu sepertinya cukup efektif dalam memenangkan setiap jabatan untuk menempatkan setiap anggota keluarga.
Politik Dinasti ialah sebuah kekuasaan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki ikatan pertalian keluarga. Politik Dinasti merupakan bentuk lain dari sistem kerajaan, Kekaisaran atau Kesultanan yang kerap kita sebut sistem Monarki. Kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga. Bedanya, politik dinasti justru menjadikan pemilu sebagai kedok dalam melancarkan strateginya.
Hasrat berkuasa secara absolut tanpa rentang waktu masih menjadi naluri sebagian politikus di negeri Wakanda ini. Alhasil berbagai macam intrik dilahirkan untuk tetap mempertahankan kekekalan kekuasan dengan cara membangun politik Dinasti. Harus diakui, sulit menemukan daerah berkembang yang dipimpin oleh penguasa yang menerapkan sistem semacam ini.
Sejatinya, Politik Dinasti hanya akan berdampak negatif lantaran sulit memberikan ruang bagi seseorang di luar circle-nya. Peralihan kekuasaan hanya akan berputar pada hubungan darah sebuah keluarga. Masyarakat yang bukan garis keturunan sulit memimpin dan akhirnya menyebabkan adanya Privilege dan diskriminasi yang menciptakan kedudukan kontras di masyarakat. Pemerintahan yang lahir dari politik dinasti justru kerap menampilkan kehidupan hedon di tengah kondisi banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal Kemewahan itu justru lahir dengan merampas hak yang seharusnya didapatkan masyarakat kecil.
Di Banten, kita mengenal Politik Dinasti Ratu Atut Chosiyah atau yang lebih akrab kita dengar dengan sebutan Ratu Atut. Dinasti politik Ratu Atut dikenal melahirkan sejumlah kasus korupsi di Banten. Mulai dari Pengadaan Sarana dan Prasarana Alat Kesehatan dan Pengadaan lainnya di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011-2013, hingga perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak, Provinsi Banten Tahun 2013 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Selama menjabat, sejumlah kerabat Ratu Atut mulai masuk ke politik. Mulai dari Airin Rachmi Diany yang merupakan adik iparnya, hingga adik Atut, Tubagus Haerul Jaman.
Di Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur kita mengenal Politik Dinasti Syaukani Hasan Rais mantan bupati Kukar periode 1999-2010 yang pernah ayah dari Rita Widyasari yang mengantika ayahnya selama dia periode pada 2010 – 2018. Sayang, masa jabatan periode keduanya tak sempat ia tuntaskan lantaran terseret kasus dugaan gratifikasi. Rita mantap mengikuti jejak ayahnya Syaukani Hasan Rais pada 18 Desember 2006 yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu yang merugikan negara sebesar Rp 15,36 miliar.
Selanjutnya kita mengenal Dinasti Cimahi yang dijalankan Atty Suharti bersama suaminya, Itoc Tochija. Dalam Politik Dinasti di Cimahi, Itoc merupakan Wali Kota Cimahi dalam dua periode sebelumnya. Posisinya kemudian digantikan oleh istrinya, Atty Suharti. Kedua pasangan ini menyandang status tersangka atas kasus penerimaan suap terkait proyek pembangunan pasar di Cimahi.
Kemudian di Bangkalan kita mengenal Dinasti politik Fuad. Fuad merupakan penguasa di Bangkalan selama 10 tahun sejak 2003 sebelum turun takhta pada 2013. Fuad kemudian digantikan putranya sendiri, Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan Periode 2013-2018. Makmun saat itu menjadi bupati termuda dengan usia 26 tahun. Namun, pada Desember 2014 Fuad ditangkap oleh KPK. Selama menjadi Bupati Bangkalan dan Ketua DPRD Bangkalan, Fuad disebut telah menerima uang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi terkait jabatannya, dengan menerima sejumlah uang sebesar Rp 18,05 miliar.
Mungkin kita semua sepakat jika Politik Dinasti bukanlah sebuah bentuk kewajaran dalam demokrasi, Politik Dinasti menandakan jika belum sepenuhnya siap menjalankan demokrasi itu sendiri. Harus diakui, Politik Dinasti kerap berkaitan dengan fenomena Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Dalam survei Nagara Institute, pada pilkada serentak 2020 lalu, tercatat sedikitnya 57 calon kepala daerah yang berasal dari dinasti politik petahana meraih kemenangan. Kita bisa membayangkan bagaimana 57 calon kepala daerah tersebut bekerja pada wilayahnya masing-masing. Tentu ini menjadi persoalan serius bagi sebagian wilayah di Indonesia. Bukan hanya dari segi pembangunan, namun juga harus melepaskan diri dari cengkraman politik Dinasti itu sendiri.
Dalam catatan Eksekutif Indikator Politik Indonesia, menunjukan jika saat belum terdapat aturan jelas dalam mencegah politik dinasti. Meski sebelumnya negara kita memiliki UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan jika Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Apa yang dimaksud dengan ‘kepentingan dengan petahana’? Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. Namun disayangkan, pasal yang dapat digunakan menjerat praktik Politik Dinasti harus dihapuskan lantaran dianggap karena bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945 yang harus memberikan hak politik yang sama kepada semua warga negara.
Dalam pertimbangannya, MK berpandangan jika
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 memungkinkan pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut harus didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan dengan maksud ‘semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis’.
Pembatasan hak pilih dalam proses pemilihan lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) hak pilih bersangkutan dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Celah regulasi ini betul-betul dimanfaatkan sebagian politikus untuk mencapai hasratnya dalam membangun politik Dinasti. Pada akhirnya Partai politik hanya menjadi mesin pragmatis yang hanya bertujuan merebut kekuasan dan pundi-pundi rupiah. Banyaknya daerah yang terpapar Politik Dinasti menunjukan, jika kondisi demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Praktik seperti ini tidak bisa kita dibiarkan terus hidup dan berkembang. Ketidakmampuan masyarakat dalam mengidentifikasi dan mempersoalkan Politik Dinasti membuktikan, masih minimnya pemahaman dan tingginya sikap apatis masyarakat dalam memandang politik itu sendiri. Jika sistem Politik Dinasti masih terus menerus menguasai pemerintahan dalam negeri, jangan heran jika 50, 70 bahkan 100 tahun ke depan kondisi Negeri Wakanda masih tetap begini-begini saja.