Revisi UU TNI: Kemunduran Demokrasi dan Ancaman bagi Supremasi Sipil
OPINI – Saya, Jody Surasono, Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan Periode 2025, dengan tegas menolak revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang telah disahkan DPR RI pada 20 Maret 2025.
Revisi ini membuka kembali celah Dwi Fungsi ABRI, yang bertentangan dengan semangat reformasi dan supremasi sipil. Beberapa poin krusial yang harus kita tolak adalah:
—
Poin-Poin Revisi yang Bermasalah
1. Militer Bisa Menduduki Jabatan Sipil (Pasal 47)
TNI aktif kini dapat menduduki jabatan di 14 kementerian/lembaga sipil, tanpa perlu pensiun atau mengundurkan diri.
Ini mengancam netralitas pemerintahan sipil dan membuka ruang bagi militerisme.
2. Perpanjangan Usia Pensiun TNI (Pasal 53)
Usia pensiun prajurit diperpanjang hingga 63 tahun untuk perwira tinggi bintang 4, bahkan bisa diperpanjang 2 kali oleh Presiden.
Ini menghambat regenerasi di tubuh TNI dan memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan sipil.
3. TNI Bisa Masuk ke Urusan Sipil Lainnya (Pasal 7 Ayat 15 & 16)
TNI kini diberi tugas tambahan di bidang siber dan perlindungan warga negara di luar negeri, yang seharusnya menjadi tugas lembaga sipil.
—
Dampak Nyata: Mahasiswa Berjuang Mati-matian, Peluang Kerja Direbut Militer!
Keputusan ini bukan hanya soal politik dan demokrasi, tetapi juga menyangkut nasib ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil yang telah berjuang mati-matian untuk mendapatkan pekerjaan di sektor pemerintahan.
Bayangkan!
Berapa banyak mahasiswa yang telah bersusah payah kuliah, mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya demi mendapatkan gelar dan bersaing dalam tes CPNS?
Berapa banyak anak muda yang belajar siang malam, ikut bimbingan belajar, dan mengerahkan segala daya upaya agar bisa lulus seleksi menjadi ASN?
Namun, dengan revisi ini, posisi yang seharusnya untuk masyarakat sipil kini malah bisa diisi oleh prajurit militer tanpa harus melalui jalur seleksi yang sama!
Apakah ini adil?
Ketika mahasiswa harus bersaing dalam ujian CPNS yang ketat, militer bisa langsung masuk ke jabatan sipil hanya karena aturan baru ini!
Ketika anak muda sibuk menghafal materi tes dan mengikuti berbagai seleksi, ada orang-orang berseragam yang tidak perlu melewati semua itu tetapi tetap bisa mengisi posisi yang sama!
—
Tidak Ada Celah Pembelaan bagi Taruna Akmil dan Sejenisnya!
Sebagian mungkin akan berdalih:
“Lulusan Akmil, Akpol, dan akademi militer lainnya juga berkuliah selama empat tahun, jadi mereka juga berhak masuk ke jabatan sipil.”
Pernyataan ini keliru dan menyesatkan!
1. Pendidikan di akademi militer (Akmil, Akpol, AAL, AAU) adalah pendidikan kedinasan yang bertujuan untuk mencetak perwira militer, bukan aparatur sipil negara (ASN)!
Mereka digaji oleh negara sejak masa pendidikan dan terikat sumpah sebagai prajurit.
Mahasiswa sipil membayar uang kuliah sendiri dan harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
2. Lulusan akademi militer tidak mengikuti seleksi ASN yang berbasis meritokrasi!
Mahasiswa sipil harus bersaing dalam tes CPNS yang ketat, sementara prajurit TNI kini bisa langsung mengisi jabatan sipil hanya karena status mereka.
Ini adalah bentuk ketidakadilan yang mencolok dan menciderai prinsip keadilan sosial.
3. Jabatan sipil adalah untuk sipil, bukan untuk militer!
Indonesia sudah memilih jalan demokrasi, bukan negara militeristik.
Jika lulusan Akmil ingin berkarier di sipil, maka mereka harus mengundurkan diri dan bersaing secara adil melalui jalur yang sama dengan masyarakat umum!
—
Saya Mengecam dan Menolak Keras!
Sebagai Ketua Umum BEM FH UBT, saya sangat kecewa dan marah melihat bagaimana DPR RI dengan mudahnya mengorbankan demokrasi demi kepentingan kelompok tertentu.
Ini bukan sekadar revisi hukum, ini adalah ancaman nyata bagi supremasi sipil dan demokrasi!
Jika dibiarkan, ini akan membuka jalan bagi militer kembali berkuasa dalam ranah sipil dan mengulang sejarah kelam Orde Baru!
Saya menyerukan kepada seluruh mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil untuk bersatu dalam menolak revisi ini!
Indonesia adalah negara hukum, bukan negara militer! Kita tidak boleh diam! Jika kita membiarkan ini terjadi, maka kita sedang menggali kubur bagi demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah!
Saya tegaskan sekali lagi:
“Militer bukan untuk berpolitik, militer bukan untuk menguasai pemerintahan! Demokrasi harus tetap kita jaga, dan supremasi sipil tidak boleh diganggu gugat!”
Penulis : Jody Surasono
Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Borneo Tarakan Periode 2025





