
Kalimantan Raya, Nasional — Di antara dinding megah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta pernah menjabat sebagai pengendali sidang, penjaga keadilan. Namun, Jumat malam itu, perannya berubah drastis. Ia ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh Kejaksaan Agung.
Dugaan korupsi yang menjeratnya bukan perkara kecil. Arif diduga menerima Rp 60 miliar demi “mengatur” putusan bebas bagi perusahaan-perusahaan sawit besar yang terjerat kasus korupsi ekspor CPO.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, praktik suap ini bermula dari ruang pengacara korporasi.
“Tersangka MAN diduga telah menerima sejumlah uang yang jika ditotal sebesar Rp 60 miliar,” ujarnya.
Uang tersebut mengalir lewat Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, dan kemudian sampai ke tangan Arif.
Tugas Arif tak berhenti pada dirinya. Ia berperan sebagai penghubung antarhakim dalam membagi dana suap. Djuyamto, Ketua Majelis Hakim dalam perkara CPO, disebut menerima Rp 18 miliar. Agam Syarif Baharudin kebagian Rp 4,5 miliar. Nama satu hakim lain masih dirahasiakan oleh penyidik.
Kasus yang ditangani adalah perkara besar: korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO di tengah larangan ekspor minyak goreng oleh pemerintah tahun 2022. Tiga perusahaan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group didakwa memperkaya diri dan merugikan negara. Namun, putusan bebas majelis hakim pada 2023 mengundang tanda tanya besar, bahkan di kalangan praktisi hukum sendiri.
Kini, dengan penetapan tersangka terhadap Arif, benang kusut itu mulai terurai. Penahanan langsung dilakukan usai pemeriksaan. Langkah Kejagung ini pun menjadi simbol bahwa tembok kekuasaan peradilan bukanlah tempat suci dari praktik lancung.
Skandal ini bukan yang pertama di lingkungan peradilan, dan bisa jadi bukan yang terakhir. Tapi ia menegaskan satu hal: bahwa reformasi peradilan tak lagi bisa ditunda. Palu keadilan tak boleh dijual murah.