August 13, 2025
Nasional Politik

TNI AD Rekrut 24.000 Prajurit Baru: Investasi Pembangunan atau Strategi Politik?

  • Juni 11, 2025
  • 3 min read
TNI AD Rekrut 24.000 Prajurit Baru: Investasi Pembangunan atau Strategi Politik?

Kalimantan Raya, Nasional – Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) membuka pintu bagi 24.000 prajurit baru pada tahun ini. Rekrutmen massal ini bukan semata untuk kebutuhan pertahanan, melainkan untuk mengisi Batalyon Teritorial Pembangunan yang dirancang menyentuh berbagai sektor sipil seperti pertanian, peternakan, hingga kesehatan.

Langkah ambisius ini dipastikan akan memengaruhi arah kebijakan nasional, mulai dari struktur anggaran hingga dinamika politik di tingkat akar rumput. Pertanyaannya, siapa diuntungkan dan siapa yang terbebani?

Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Wahyu Yudhayana, menjelaskan bahwa Batalyon Teritorial Pembangunan akan dibentuk di seluruh 514 kabupaten/kota di Indonesia. Masing-masing batalyon akan berdiri di atas lahan seluas 30 hektare dan terdiri dari empat kompi, yakni pertanian, peternakan, medis, dan zeni.

“Ini adalah bagian dari kontribusi konkret TNI AD dalam mendukung pembangunan nasional dan menjaga stabilitas di wilayah,” ujar Brigjen Wahyu kepada Kompas, Selasa (03/06). Ia juga menambahkan bahwa animo masyarakat untuk bergabung tinggi, dengan pendaftar calon tamtama mencapai lebih dari 107.000 orang.

Konsep batalyon pembangunan ini pertama kali diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat bersama Komisi I DPR, November 2024. Ia menyebut, ide ini merupakan strategi nasional yang digagas Presiden Prabowo Subianto. Tujuannya: mewujudkan stabilitas keamanan sekaligus mendukung kesejahteraan rakyat.

Namun, tidak semua pihak memandangnya sebagai langkah netral.

Made Supriatma, peneliti ISEAS–Yusof Ishak Institute, menyoroti dimensi politik dari kehadiran TNI yang semakin intensif di desa-desa. Menurutnya, dengan struktur seperti Babinsa dan kini Batalyon Teritorial, kekuatan militer dapat menjadi kekuatan elektoral yang besar.

“Kalau tentara sudah masuk ke desa-desa, mereka bisa mengontrol logistik pangan, koperasi, hingga distribusi alat produksi. Itu kekuatan politik yang luar biasa,” kata Made.

Ia bahkan menilai, ke depan, militer bisa menjadi aktor penentu siapa yang memimpin negara. “Tanpa tentara, enggak ada orang bisa jadi presiden,” ujarnya lugas.

Pernyataan ini diamini oleh Jaleswari Pramodhawardani dari LAB 45. Menurutnya, unit teritorial yang terlalu dekat dengan masyarakat berpotensi dimanfaatkan di luar tugas pertahanan murni.

Dampak lain yang tak kalah serius adalah beban anggaran negara. Menurut Jaleswari, belum ada analisis publik yang menunjukkan kebutuhan mendesak dari penambahan puluhan ribu personel ini.

“Apakah ada ancaman nyata yang memerlukan rekrutmen sebesar ini? Apakah anggaran negara mampu menopangnya tanpa mengorbankan prioritas nasional lain?” kata Jaleswari.

Sementara itu, Made mengkritik strategi militer saat ini yang dianggap tidak adaptif terhadap karakter peperangan modern.

“Peperangan sekarang itu murah. Drone seharga 600 dolar bisa menghancurkan basis militer. Jadi, untuk apa memperbanyak orang? Kita ini sedang membengkakkan organisasi tanpa alasan taktis yang kuat,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa dengan tren ini, jumlah tentara Indonesia bisa menembus satu juta personel pada akhir pemerintahan Prabowo. Usia pensiun prajurit yang diperpanjang akan menciptakan tumpukan perwira non-tempur yang berpotensi “diparkir” di ranah politik.

Di Kalimantan Utara, di mana banyak daerah masih tertinggal secara infrastruktur dan layanan dasar, kehadiran batalyon pembangunan bisa menjadi peluang percepatan pembangunan. Namun, dengan fungsi ganda antara militer dan sipil, masyarakat dan pemerintah daerah dituntut untuk lebih kritis mengawasi peran TNI agar tetap dalam rel konstitusional.

Rekrutmen besar-besaran TNI AD tahun ini bisa dilihat sebagai upaya memperluas peran militer dalam pembangunan nasional. Namun, konsekuensinya tidak ringan. Mulai dari potensi beban fiskal negara hingga kemungkinan pembentukan jejaring kekuasaan militer yang memengaruhi kehidupan politik sipil, semuanya perlu dikaji dengan cermat.

Publik berhak bertanya, apakah ini bentuk inovasi militer demi rakyat, atau jalan sunyi menuju militerisasi sipil yang dibungkus jargon pembangunan?