August 14, 2025
Opini

Bupati Nunukan Dangkal

  • Juni 9, 2025
  • 6 min read
Bupati Nunukan Dangkal

Kalimantan Raya, Opini – Pernyataan Bupati Nunukan, Irwan Sabri, yang mengklaim penerimaan dua ekor sapi dari Presiden Prabowo Subianto sebagai “bentuk nyata kehadiran negara” (TribunKaltara, 6 Juni 2025) bukanlah pernyataan polos, melainkan sebuah cermin kedangkalan yang melanggengkan relasi kuasa. Yang lahir dari pemahaman yang dangkal pula.

Kekuasaan di sini tidak hanya dimaknai sesempit arti kekuasaan politik, represifitas, senjata dan pertumpahan darah. Seorang Filsuf Perancis, Michael Foucault (1926-1984) memandang kekuasaan tidak sesempit itu. Kekuasaan itu produktif dan tersebar, ada pada institusi-institusi pengetahuan yang kemudian disebut sebagai kekuasaan epistemik. “Kekuasaan di sini lebih dimaknai sebagai kekuatan yang mengatur dan mendefinisikan kebenaran secara subtil. Ia ada di mana-mana untuk menguasai, bahkan membuat kita patuh.” (Sunaryo, 2023, hlm 31). Pernyataan Bupati Nunukan merupakan simbol ucapan terima kasih sekaligus membongkar relasi kuasa yang bekerja, sebuah pertunjukan simbol yang melalui bahasa justru menutupi ketiadaan substansial negara. Memposisikan Irwan Sabri, sang Bupati sebagai aktor yang terjebak dalam permainan kuasa itu sendiri.

Kuasa dalam dunia kontemporer jarang bekerja dengan tangan besi yang kasat mata. Ia lebih sering bersembunyi dalam jaringan halus pengetahuan, wacana, dan ritual yang memproduksi dan mereproduksi “kebenaran”.

Pemberian dua ekor sapi oleh Presiden untuk warga Nunukan, adalah sebuah relasi kuasa yang dipertontonkan. Ia adalah sebuah pertunjukan yang sengaja dirancang untuk terlihat. Tujuannya jelas, memproduksi citra negara yang murah hati, peduli dan “hadir” di Kabupaten Nunukan. Gestur Presiden ini adalah bahasa kuasa yang ingin mengatakan, “Lihatlah, kami ada untukmu.” Dan disinilah letak kedangkalan Irwan Sabri, ia bukannya mengkritisi, malah dengan sukarela menjadi pengeras suaranya. Tanpa rem mengatakan “bentuk nyata kehadiran negara”, mengukuhkan dan memvalidasi kebenaran dangkal yang hendak ditanamkan oleh pusat kekuasaan. Ia menjadi bagian dari mesin yang memproduksi wacana bahwa kehadiran negara bisa direduksi menjadi sebatas dua ekor binatang, bernama sapi. Pernyataan Bupati ini tentu tidak tiba-tiba jatuh dari langit atau begitu saja keluar dari perut bumi.

Nunukan, melalui lidah Bupatinya, diposisikan sebagai penerima karunia yang patut bersyukur dan berterima kasih, sementara pusat kekuasaan adalah pemberi, sang pemurah hati. Menciptakan relasi pemberi dan penerima, untuk beroperasinya kekuasaan. Dengan menginternalisasi narasi ini dan memprovokasinya ke publik, Bupati Irwan Sabri tidak hanya memaklumi posisi-posisi itu, tetapi juga mengajarkannya kepada warganya. Ia gagal melihat ironi mendasar, mengapa sebuah daerah “diberikan sapi” dari pusat untuk merasakan “kehadiran negara” di hari libur? Bukankah kehadiran negara yang sejati seharusnya sudah inheren dalam fungsi pelayanan dan perlindungan dasar yang berjalan setiap hari, tanpa perlu tanggal merah atau momen?

Di sinilah titik kritis kedangkalan sang Bupati. Foucault, mengingatkan kita bahwa kuasa negara yang sesungguhnya dan berkelanjutan bekerja melalui mekanisme yang jauh lebih kompleks dan seringkali tak terlihat. Kedisiplinan yang membentuk warga melalui sekolah, rumah sakit, dan penjara; serta kuasa biopolitik yang mengelola kehidupan populasi melalui kebijakan kesehatan, kesejahteraan, pertanian, dan keadilan. “Yang kemudian memungkinkan terciptanya anatomi politik baru.” (Zaidan, 2020, hlm 136).

Kehadiran negara yang substansial di Nunukan seharusnya terasa dalam deretan panjang hal yang jarang disuarakan, seperti pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau dan bermutu, sekolah dengan guru yang memadai dan kompeten, akses fasilitas kesehatan yang timpang antara daerah di pulau-pulau (Sudarwan & Lay (2011), kebijakan pertanian dan peternakan yang memberdayakan bukan sekadar memberi sapi, aparat hukum yang adil dan tak pandang bulu, serta jaminan atas hak-hak mendasar warga.

Dua ekor sapi, seberapapun bernilainya secara ekonomi, hanyalah titik kecil yang nyaris tak berarti dalam peta kebutuhan biopolitik dan disipliner yang luas itu. Menyamakan titik kecil ini dengan “bentuk nyata kehadiran negara” bukan hanya keliru, tetapi merupakan ungkapan dangkal yang menyesatkan dan pengalihan perhatian dari tanggung jawab struktural negara juncto Bupati untuk mewujudkan kehadiran yang sebenarnya.

Dengan demikian, julukan “Bupati Dangkal” untuk Irwan Sabri menemukan pembenarannya. Kedangkalan itu terletak pada kegagalannya memahami esensi kuasa negara yang kompleks dan tersebar, bukan hanya terpusat pada gestur simbolik Presiden. Kedangkalan itu tercermin dalam pernyataannya saat menyerahkan pemberian itu, sambil mungkin menutup mata terhadap absennya negara dalam bentuk sistem dan layanan berkelanjutan yang menjadi hak mendasar warga Nunukan. Kedangkalan itu nyata dalam perannya yang direduksi menjadi sekedar kurir, penyampai bansos sapi, alih-alih sebagai pemimpin kritis yang seharusnya menuntut pertanggungjawaban negara atas ketidakhadirannya dalam infrastruktur, kebijakan, dan keadilan di Nunukan.

Ia gagal menjadi tuan rumah atas rumahnya sendiri untuk memastikan negara tak hanya memberi sapi, tetapi membangun kandang, menyediakan pakan, menciptakan pasar, dan menjamin keberlanjutan hidup warganya.

Bupati Irwan Sabri, dengan pernyataannya, bukan hanya korban yang dangkal yang terjebak dalam ilusi relasi kuasa ini, tetapi juga aktor yang turut melanggengkannya. Kehadiran negara yang sesungguhnya tidak diukur dari jumlah sapi yang diberikan, tetapi dari terpenuhinya hak-hak mendasar warga melalui sistem yang adil, layanan yang bermartabat, dan kebijakan yang memberdayakan, hal-hal yang sayangnya menjadi buram setelah pemberian dua ekor sapi itu. Bupati Nunukan, Irwan Sabri dalam pernyataannya, menjadi pengakuan akan kedangkalannya tentang apa arti negara hadir bagi warganya.

Tubuh dan Kekuasaan
Tubuh diyakini sebagai salah satu medan politik untuk mengoperasikan kekuasaan, baik secara lokal, mikro dan skala besar. Melalui tubuh kita akan memandang bagaimana mekanisme relasi-relasi kekuasaan melakukan penundukan, penguasaan, pendisiplinan yang sedemikian subtil bagi keberlangsungan kuasa.

Paham kontrol tubuh atau dengan istilah lain politik tubuh/biopolitic terjadi ketika suatu hegemoni tanpa kekerasan melalui kemunafikan superioritas rezim melalui dalih ketertertiban dan kenormalan. Melaluinya, tubuh yang patuh dapat dibentuk, dilatih dan dibangun sesuai kehendak penguasa.

Dalam konteks pernyataan Bupati Nunukan, Irwan Sabri, ada semacam upaya pendisiplinan tubuh tentang bentuk nyata kehadiran negara, sehingga menciptakan kenormalan, dan anggapan bahwa negara benar-benar hadir. Dengan memahami kekuasaan sebagai sesuatu yang produktif dan tersebar.

Tidak Hadirnya Negara
Ketidakhadiran negara di Nunukan bukanlah kekhilafan, melainkan sedang menjalankan strategi kekuasaan dalam logika Foucault. Negara sengaja memilih absen dalam urusan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), namun hadir dramatis pada momentum simbolis seperti pembagian dua ekor Sapi kurban Idul Adha.

Peristiwa ini menciptakan ilusi kepedulian sekaligus mengalihkan perhatian dari pengabaian struktural. Dengan cara ini, negara membangun wacana bahwa Nunukan adalah wilayah pinggiran yang cukup diberi amal, bukan wilayah berhak atas keadilan.

Bayangkan saja, Seperti di Krayan, warga setempat membutuhkan waktu berjam-jam, dikarenakan medan yang sulit untuk sampai dan mengakses layanan kesehatan, pendidikan, atau peluang ekonomi. Belum lagi rimbunnya persoalan yang lebih kompleks secara Kabupaten. Ketidakhadiran yang terus berulang ini lalu dinormalisasi, membuat pendisiplinan tubuh warga. Tak jarang warga kemudian menganggapnya sebagai takdir. Padahal ini adalah hasil desain kekuasaan yang nyata, tidak hadirnya negara.

Momentum seremonial seperti Idul Adha menjadi alat penguatan kekuasaan. Negara mengkooptasi simbol agama untuk mencitrakan diri sebagai “pemberi nikmat”, menggantikan tanggung jawab nyata dengan gebyar amal yang cepat pudar.

Di balik absennya negara, di situ ada perlawanan. Warga Nunukan bisa membangun perlawanan kultural dengan solidaritas. Ketika warga Nunukan paham bahwa “kehadiran sesaat negara di momen Idul Adha ” adalah bagian dari skema kontrol, solidaritas mereka bukan lagi sekadar bertahan hidup, melainkan strategi membangun kekuasaan tandingan. Ketidakhadiran negara dapat memicu lahirnya kekuatan baru, berbentuk resistensi. Memaknai ulang relasi kuasa di tanahnya sendiri.

Penulis: Rawan R. Wijaya

Taman Pustaka:
1. Sunaryo. (2023). (Inter-) Relasi Kekuasaan dan Kebenaran Menurut Michael Foucault. Jurnal Dekonstruksi, 9(3), 31-35.
2. Zaidan, F. (2020). Relasi Tubuh dan Kekuasaan: Kritik Sandra Lee Bartky Terhadap Pemikiran Michael Foucault. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 5(2), 134-153.
3. Sudarwan A & Lay C (2011). Ketidakmerataan Pelayanan Publik Dalam Sektor Pendidikan Dasar dan Kesehatan di Kabupaten Nunukan (Tesis Magister Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada).