November 9, 2025
Opini

Mencari Frasa Keterwakilan Rakyat Di DPRD Kota Tarakan

  • September 18, 2025
  • 6 min read
Mencari Frasa Keterwakilan Rakyat Di DPRD Kota Tarakan

KALIMANTAN RAYA, OPINI — Beberapa pekan ini masyarakat Kota Tarakan disibukkan dengan perjuangan melalui seluruh media sosial untuk menentang kenaikan biaya abonemen Perumda Tirta Alam (PDAM) Tarakan, hampir sepekan masyarakat menggunakan jari jemarinya untuk menentang serta menolak habis – habisan penetapan sepihak PDAM Tarakan untuk memutuskan kenaikan biaya abonemen di seluruh platform media sosial.

Masifnya penentangan yang mengalir dari masyarakat Kota Tarakan membuat Kuasa Pemilik Modal (KPM) yakni Walikota Tarakan dr. Khairul, M.Kes. membatalkan kenaikan tarif abonemen PDAM Tarakan, dengan bahasa “kita capek dengan persoalan Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) ini kondisinya tidak tepat jadi kita batalkan kenaikan abodemen” secara resmi sang penguasa modal Perumda membatalkan keputusan kenaikan tarif abodemen PDAM Tarakan pada Sabtu (13/9).

DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) harusnya berfungsi sebagai suara nyata rakyat, bukan hanya sekadar simbol dan frasa perwakilan belaka. Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dengan tulus, bukan sekadar mengikuti kepentingan politik tertentu atau kelompok tertentu. Dalam hal ini, peran DPRD sangat krusial dalam mengawal kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat, terutama di tingkat daerah dalam hal ini adalah kota Tarakan.

Pada masa – masa ini tentunya kita mencari dan menantikan peran para perwakilan masyarakat Kota Tarakan di tampuk kekuasaan legislatif yang telah terdistribusi melalui Dewan Perwakilan Rakyat Kota Tarakan, sejak abonemen PDAM Tarakan diputuskan naik DPRD Kota Tarakan pasif seolah tak berdaya menghadapi keputusan Direktur PDAM Tarakan. Seolah merasa aman karena berapapun tarif yang akan ditetapkan oleh PDAM Tarakan para perwakilan rakyat ini bisa tetap tenang karena hajat hidup yang pastinya akan terbayarkan oleh negara melalui tunjangan – tunjangannya yang berasal dari pajak rakyat.

Selama kurang lebih sepekan masyarakat Kota Tarakan berjuang membentuk barisan dan kelompok – kelompok perlawanan sendiri melalui tulisan, komentar, dan postingan – postingan penolakan kenaikan tarif abodemen PDAM Tarakan. Rakyat dibiarkan berjuang dan melawan sendiri tanpa adanya tameng perlindungan dan keterwakilan suara di jajaran kekuasaan pemerintah kota.

Meskipun faktanya Ketua DPRD Tarakan, Muhammad Yunus sempat memberikan keterangan di salah satu media online dengan mengatakan bahwa “Kenaikan tarif abonemen saat ini tidak tepat waktunya karena kondisi ekonomi masyarakat sedang tidak baik, dan akan segera memanggil PDAM Tarakan untuk menanyakan alasan penaikan tarif abodemen kepada PDAM Tarakan” namun tidak ada satu tindakan konkret yang dilakukan oleh DPRD Tarakan seperti mengeluarkan surat rekomendasi langsung kepada Walikota Tarakan untuk meninjau ulang atau membatalkan keputusan kenaikan tarif abodemen ataupun mengumumkan jadwal RDP kepada mayakarakat, hingga akhirnya kenaikan tarif dibatalkan oleh Walikota Tarakan.

Seharusnya DPRD Kota Tarakan kembali bercermin dan introspeksi diri untuk berbenah, terutama terkait lambannya langkah konkret yang mereka lakukan dalam merespons berbagai permasalahan yang terjadi di tengah Masyarakat.

Alih-alih berbenah justru DPRD Tarakan melalui ketuanya memberikan apresiasi dan puja – puji kepada keputusan Walikota Tarakan yang telah membatalkan kenaikan tarif, pernyataan ini seakan menjelaskan tentang betapa mesranya hubungan para perwakilan rakyat kita dengan kekuasaan eksekutif daerah Kota Tarakan, hubungan ini jelas menimbulkan perasaan cemburu di kalangan masyarakat suara rakyat yang di mandatkan melalui kekuasaan legislatif pada instansi DPRD harusnya menjadi pengawas dan pengontrol terhadap kebijakan – kebijakan yang tidak memikirkan isi hati dan kondisi ekonomi masyarakat. Masyarakat tentunya akan lebih puas jika DPRD Tarakan memberikan ultimatum kepada PDAM Tarakan dan Walikota Tarakan selaku pemegang kekuasaan eksekutif ex officio KPM dari Perumda agar tidak lagi mengeluarkan keputusan – keputusan sepihak yang memberatkan masyarakat Kota Tarakan.

Habis sepekan setelah masa perjuangan masyarakat untuk menentang kenaikan tarif abonemen PDAM Tarakan, manajemen PDAM Tarakan kemudian berupaya memoles citra baiknya kembali melalui beberapa platform media sosial dengan menunjukkan kinerja – kinerja PDAM Tarakan seolah untuk menutupi blunder yang sudah terlanjur terjadi, yang kurang rasional untuk diterima akal sehat adalah Direksi PDAM Tarakan seolah membangun narasi jika seluruh perlawanan yang telah terjadi pekan lalu adalah bentuk kedzaliman yang ditujukan kepada Direksi PDAM Tarakan semua suara – suara perlawanan itu dianggap sebagai ekspresi sakit hati yang tidak mau PDAM Tarakan terlihat lebih baik dan maju, dan dianggap sebagai bekas – bekas lawan politik.

Pendekatan yang diambil oleh Direksi PDAM Tarakan dengan membingkai kritik masyarakat sebagai bentuk kedzaliman atau sekadar sentimen politik adalah langkah yang justru memperparah situasi. Alih-alih membuka ruang dialog dan melakukan introspeksi atas kebijakan yang menuai penolakan, Direksi PDAM justru terkesan defensif dan menolak menerima kenyataan bahwa kebijakan mereka tidak berpihak pada kepentingan publik. Narasi yang dibangun bahwa para penentang hanyalah pihak yang tidak ingin PDAM maju merupakan bentuk pengaburan isu yang sangat manipulatif, karena pada dasarnya, kritik masyarakat lahir dari kondisi riil yang mereka alami kenaikan tarif yang tidak disertai dengan peningkatan pelayanan yang sepadan.

Lebih dari itu, cara PDAM “memoles citra” melalui media sosial tanpa menyentuh akar permasalahan juga menunjukkan ketidaktulusan dalam membenahi pelayanan publik. Ini bukan hanya soal citra, tapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan tidak bisa dibangun dengan kampanye pencitraan belaka, melainkan melalui transparansi, akuntabilitas, serta komitmen nyata terhadap perbaikan layanan. Masyarakat Tarakan sudah cukup cerdas untuk membedakan antara upaya perbaikan yang tulus dan sekadar gimik pencitraan. Jika Direksi PDAM Tarakan terus menutup telinga dan hati terhadap aspirasi warganya, bukan tidak mungkin krisis kepercayaan akan semakin dalam dan merusak legitimasi lembaga pelayanan publik yang seharusnya bekerja demi kepentingan rakyat.

PDAM Tarakan jelas adalah perusahaan yang seluruh kegiatannya bersumber dari hasil keringat masyarakat yang berorientasi pada pelayanan publik, dengan tujuan utama adalah pemenuhan hajat hidup Masyarakat luas. Segala bentuk suara perlawanan terhadap keputusan PDAM Tarakan harus diterima dengan lapang dada dan pikiran yang terbuka. Dari persoalan ini kita tentu berharap DPRD Tarakan bisa memberi pencerahan kepada manajemen PDAM Tarakan agar lebih dewasa dalam mendengarkan masukan dan kritik dari masyarakat karena jika seluruh suara perlawanan dianggap sebagai bentuk kedzaliman dan bentuk ketidaksukaan tentunya ada yang salah dengan komunikasi publik Direksi PDAM Tarakan.

Sudah saatnya Direksi PDAM Tarakan menyadari bahwa kritik dan perlawanan masyarakat bukanlah ancaman dan juga sebuah bentuk kedzaliman, melainkan cerminan kepedulian publik terhadap kualitas pelayanan yang seharusnya mereka terima. Mengabaikan suara rakyat atau bahkan menstigmatisasinya sebagai bentuk kebencian hanya akan memperlebar jurang antara penyelenggara layanan publik dan masyarakat yang dilayani. Oleh karena itu, pembenahan bukan hanya perlu dilakukan pada aspek teknis pelayanan, tetapi juga pada cara berkomunikasi dan membangun hubungan yang sehat dengan publik. Jika PDAM Tarakan ingin kembali meraih kepercayaan, maka transparansi, keterbukaan, dan kemauan untuk berubah adalah kunci yang tak bisa ditawar.

Penulis,
Ndaru Teguh P.
Presiden Mahasiswa Universitas Borneo Tarakan