November 10, 2025
Opini

Prabowo Pidato di PBB, Sebuah Omong Kosong soal Perdamaian dan Solusi Dua Negara

  • September 24, 2025
  • 3 min read
Prabowo Pidato di PBB, Sebuah Omong Kosong soal Perdamaian dan Solusi Dua Negara

KALIMANTAN RAYA, OPINI – Di atas mimbar megah PBB, sang pemimpin negara berpidato. Kata-kata perdamaian, kemanusiaan, dan solusi dua negara mengalir lancar, seolah mantra suci yang bisa menghapus darah dan air mata. Namun, bagi mereka yang akrab dengan sejarah penderitaan, penjajahan, perampasan ruang hidup, yang jiwanya terikat pada tanah yang dirampas, pidato itu adalah racun. Ia bukan melodi harapan, melainkan alunan omong kosong.

“Kita harus mengakui Palestina sekarang. Kita harus menghentikan bencana kemanusiaan di Gaza. Mengakhiri perang harus menjadi prioritas utama kita”.

Sungguh sebuah pernyataan yang absurd, jika saja ia bukan penutup mata dari sebuah genosida yang disaksikan dunia. Dari kacamata intelektual Yahudi terkemuka Noam Chomsky dan Ilan Pappe, sejarah adalah saksi bisu yang tak bisa dibungkam. Palestina bukan hanya korban sebuah konflik melainkan korban dari pembersihan etnis yang sistematis dan berabad-abad, sebuah proyek kolonial yang tidak pernah selesai. Jadi, ketika Prabowo bicara tentang Two State Solution atau solusi dua negara, ia sebenarnya sedang menawarkan kompromi pada ketidakadilan itu sendiri. Ia tidak mengakui nyawa anak-anak, perempuan, lansia yang dibunuh. Dan ia ingin membagi sisa-sisa remah roti, sementara seisi lumbung telah dicuri. Ini bukan perdamaian, melainkan legitimasi atas penindasan.

Prabowo juga berkata, “Kami siap mengambil bagian dalam perjalanan menuju perdamaian ini. Kami bersedia menyediakan pasukan penjaga perdamaian”.

Sebuah tawaran kosong. Sebuah langkah yang terlihat gagah, namun hanya akan berujung pada penjaga sebuah sangkar, bukan pada pembebasan burung. Perdamaian yang tidak mengakui genosida, perdamaian yang hanya membekukan status quo, adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Ia menempatkan para korban dan para penindas pada satu meja yang sama, tanpa mempertanyakan kejahatan yang telah dilakukan. Seolah-olah, jutaan nyawa yang melayang di Gaza hanyalah angka yang bisa diselesaikan dengan sebuah perjanjian diplomatis.

Kita, masyarakat Indonesia yang tau bagaimana rasanya dijajah, yang menyaksikan pidato di ruang rapat itu, tahu bahwa solusi dua negara adalah akhir dari impian Palestina, bukan permulaannya. Ia adalah jebakan yang dirancang untuk mengakhiri perjuangan, bukan penindasan. Kita tidak akan membiarkan genosida ini menjadi footnote dalam sejarah. Kita akan terus berteriak, menuntut keadilan, bukan kompromi.

Sikap politik Indonesia yang terlihat damai ini, pada dasarnya adalah sikap yang paling tidak adil. Ia menolak untuk berpihak pada kebenaran dan memilih jalan tengah yang nyaman, jalan yang justru mengkhianati jutaan jiwa yang telah menjadi korban dan jalan yang menghianati perjuangan para leluhur kita para pejuang melawan penjajahan.

Perdamaian sejati hanya bisa tercapai ketika keadilan ditegakkan, ketika hak kembali kepada pemiliknya, ketika semua manusia diperlakukan setara. Dan selama genosida itu tidak diakui, selama penindasan itu terus berlanjut, pidato-pidato PBB akan selamanya menjadi omong kosong.

Penulis,
DN Fardana
Kolektif Literasi Jalanan Tarakan